gambar diambil dari stop-terror.com |
Polisi
Solo di serang. Berawal dari penyerangan Pospam Simpang Gemblengan, Jumat
(17/8/2012), berlanjut penyerangan pospam di Gladag Bundaran Gladak, Minggu (19/8/2012)
dan terakhir penyerangan Pos Polisi Singosaren, Solo, Jawa Tengah, Kamis
(30/8/2012) malam yang mengakibatkan
Bripka Data Subekti meninggal.
Selang sehari setelah meninggalnya Bripka Data Subekti, kepolisian
kembali kehilangan salah satu anggotanya, Bripda Suherman, anggota Densus 88
Antiteror karena terlibat baku tembak dengan “terduga” teroris di sekitar pusat
perbelanjaan Lotte Mart, Tipes, Serengan, Solo sekitar pukul 21.30 WIB.
Serangan
terhadap polisi di Solo, tentunya telah menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat.
Polisi sebagai simbol keamanan saja bisa diserang, bagaimana dengan masyarakat
sipil?
Disadari
atau tidak, akibat adanya penyerangan terhadap polisi di Solo telah menimbulkan
kekhawatiran dan berdampak kepada masyarakat, khususnya masyarakat solo dan
Indonesia pada umumnya. Kekhawatiran bukan hanya dirasakan oleh masyarakat
sipil. Briptu Kukuh Budiyanto, korban
sekaligus saksi mata penembakan Pospam Gemblegan mengatakan, “Ada rasa trauma.
Yang penting sekarang bisa beraktivitas lagi,” jelasnya kepada wartawan, di
Satlantas Polresta Solo, Kamis (30/8/2012) (Solopos.com). Dari pihak sipil,
mengutip wawancara Espos terhadap
Ponco Akhiriyanto, Tour Manager Mandira Tour and Travel, “padahal semua sudah
deal dan tinggal berangkat, tapi tidak jadi gara-gara kejadian itu. Terus
terang kami khawatir juga kejadian tadi malam [Kamis, 30/8] (Solopos, 1
September 2012).!
Penghakiman berdasarkan dugaan
Ada
fakta menarik mengenai tewasnya terduga teroris oleh Densus 88 Antiteror pada
Jum’at (31/8) kemarin. Timbul pertanyaan, dengan dua mayat terduga teroris, apa
yang bisa diperoleh polisi? Meskipun ada “terduga” teroris yang bisa ditangkap
hidup-hidup, dengan dua mayat “terduga” teroris, polisi tidak bisa mendapat informasi
yang sahih dari mulut terduga teroris yang tewas tersebut.
Muncullah
pertanyaan, apakah ini adalah sebuah bentuk dari peradilan terhadap “terduga”
teroris? Perlu diingat, negara Indonesia adalah negara hukum. Jadi dalam
bertindak, harus berdasarkan hukum, termasuk polisi. Saya sangat tidak setuju
adanya aksi teror yang meresahkan masyarakat. Namun menembak mati terduga
teroris bukan hal yang sepenuhnya bisa benar.
Tanpa
mengurangi rasa hormat kepada Densus 88 Anti Teror atas kinerjanya dilapangan,
akan lebih elegan lagi jika Densus 88 Anti Teror bisa meringkus para terduga
teroris dengan hidup-hidup. Lalu para terduga teroris tersebut diadili menurut
hukum yang berlaku, bukan dengan dasar dugaan semata. Setelah itu dicarilah
akar permasalahan mengapa melakukan aksi terror. Bukankah hal tersebut lebih
bermanfaat daripada menembak mati”terduga teroris”? Toh Negara Indonesia bukan
lah negara duga-duga!
Memaksimalkan
fungsi intelijen
Dilain sisi, peran intelijen sangat
penting. Penyerangan polisi sebanyak 3 kali kali waktu dekat ini, seharusnya
menjadi bahan evaluasi pihak intelijen. Setelah disahkannya UU No 17
Tahun 2011 tentang Intelijen
Negara seharusnya Intelijen lebih bisa “bertaring” dalam bekerja.
Berdasarkan pasal 9, penyelenggara intelijen negara terdiri atas: a.
Badan Intelijen Negara; b. Intelijen
Tentara Nasional Indonesia; c. Intelijen
Kepolisian Negara Republik Indonesia; d. Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia; dan
e. Intelijen kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.
Badan intelijen
Negara sebagai salah satu penyelenggara intelijen, mempunyai wewenang yang
jelas mengenai terorisme. Berdasarkan pasal 31 UU No 17
Tahun 2011 tentang Intelijen
Negara. Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan,
pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait
dengan: a.
kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan
masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan
hidup; dan/atau b. kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang
mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang
menjalani proses hukum. Dengan kewenangan sebesar itu, “kecolongan’ di Solo
tidak perlu terjadi. Bukan bermaksud untuk menyalahkan, namun beranjak dari
eristiwa ini intelijen harus segera berbenah!
Terlepas dari motif/alasan
penyerangan terhadap polisi di Solo, lepas dari apakah kegiatan terorisme
adalah sesuatu yang benar atau salah. Ada ungkapan menarik dari A.M
Hendropriyono dalam bukunya berjudul “Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi,
Islam”. Dalam bab mengenai logika bahasa terorisme beliau mengatakan bahwa: “Manusia hanya dapat mengetahui
makna sebuah kata atau kalimat, bilamana manusia tersebut telah mengetahui
dalam ruang ingkup mana kata atau kalimat terbut digunakan. Oleh karena itu,
makna pemikiran pelaku terorisme, valid ataukah invalid, hanya dapat diketahui
dan dinilai oleh lingkup atau lingkungan mereka sendiri. Dengan demikian, maka
kebenaran yang terkadung didalam terorisme. Berada dalam diri mereka
sendiri(A.M. Hendropriyono, 2009: 326)”.
Mencari
akar masalah yang sesungguhnya harus segera dilakukan. Dibutuhkan peranan dari
banyak pihak, baik oleh masyarakat maupun aparat pemerintahan yang
berkepentingan. Hanya dengan mencari akar permasalahan yang sebenarnya,
permasalahan teror dapat diatasi. Hal tersebut tidak bisa dicapai dengan
membunuh para “terduga” teroris!
Solo mempunyai masyarakat yang sangat plural, isu-isu
sensitive bisa meningkatkan kecurigaan antar sesama masyarakat. Dan terror
terhadap polisi di Solo harus dijadikan momentum bagi masyarakat untuk
meningkatkan kewaspadaan. Bagaimanapun juga, tanggung jawab keamanantidak hanya
berada dipundak aparat keamanan saja, namun menjadi tanggung jawab bersama.
Solo Damai!
* Penulis : Agung Pambudi
* Penulis : Agung Pambudi
0 komentar:
Posting Komentar