gambar diambil dari sofiarli.blogspot.com |
Dalam media, salah
satu dampak negatifnya bagi perempuan adalah
terdapatnya eksploitasi perempuan dalam media massa. Eksploitasi terhadap
perempuan terjadi dengan disadari ataupun tidak disadari oleh perempuan itu
sendiri, dan dengan berbagai bentuk, baik eksploitasi fisik maupun eksploitasi
perempuan dengan peran stereotip (pelabelan) ataupun subordinasi. Pencitraan
perempuan melalui media massa tersebut masih sangat kental budaya patriarki. Sejak
era reformasi media massa telah memasuki jaman atau era kebebasan penuh tanpa
ada pembredelan, pembatasan tayangan, larangan tayangan, maupun visualisasi
vulgar di majalah oleh pihak pemerintah. Reformasi memiliki dua dampak dalam
kehidupan sosial kita, salah satunya reformasi memberi informasi
sebebas-bebasnya, disisi lain, perspektif media dalam mengangkat persoalan
perempuan masih sangat bias. Dalam hal ini dinamika usaha untuk menempatkan
perempuan pada harkat dan martabatnya tidak berjalan sebagimana mestinya.
Persoalan
perempuan di media massa salah satunya yang masih sering muncul ke permukaan
adalah dalam isi pemberitaan yang tidak sensitif dengan persoalan-persoalan
perempuan. Hasil penelitian dan workshop
Aliansi Jurnalis Independent pada tahun 2009 (dalam Jurnal Perempuan No 67
Tahun 2010) menyebutkan, perempuan yang menjadi korban kriminalitas kadang
menjadi korban kedua kali akibat pemberitaan, beberapa berita bahkan menulis
dengan bahasa yang vulgar dan
sensasional. Media massa kerap mengabaikan kode etik Jurnalistik Indonesia pasal
5 yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas
korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi
pelaku kejahatan”, kenyataannya masih
banyak media yang menuliskan nama lengkap bahkan ditampilkan foto perempuan
yang menjadi korban pelecehan seksual.
Pada saat yang
bersamaan tersebut, dimana perempuan telah menjadi korban kekerasan seksual,
perempuan masih harus menanggung konsekuensi sosial di masyarakat yang lebih
berat setelah munculnya pemberitaan tentang dirinya sebagai konsumsi publik. Stereotipe muncul dengan mengarah pada
kaum perempuan, sayangnya stereotipe lebih
mengarah pada hal yang bersifat negatif. Hal
ini, pada dasarnya terjadi karena pemahaman yang seringkali keliru
terhadap posisi perempuan. Para perempuan yang telah menjadi korban kekerasan
dapat menjadi semakin terpojokkan dalam sisi pelabelan dengan muncul asumsi
bahwa penyebab munculnya kekerasan pada perempuan, disinyalir karena penampilan
mereka sendiri, seakan tubuh perempuanlah yang menjadi obyek menarik dan menjadi
komoditas.
Tindakan efektif
harus diambil untuk menjamin bahwa media menghormati dan mempromosikan
penghargaan terhadap perempuan. Sekarang ini semakin dipahami bahwa citra
perempuan adalah sesuatu yang dibentuk oleh wacana di luar dirinya dan bukan
berasal dari perempuan sendiri. Masih diperlukan kesadaran massal, bahwa
laki-laki bersama dengan perempuan bisa menjadi pencegah atau melakukan
pencegahan atas berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan. Dalam
kehidupannya sebagai warga negara, perempuan kerap mengalami diskriminasi
sistemik sosial budaya negeri ini. Karena perempuan, dianggap “tak penting”
untuk dibela, seperti yang penulis telah ungkapkan di atas.
Balik Layar:
Tulisan ini ditulis pada momen
adanya kesempatan di kolom For Her di Harian Jawa Pos. Sekali tulis dan satu
kali kirim, tulisan ini langsung dapat diterima redaksi. Diakui, rubrik yang
ditembus memang bukan rubrik utama di Harian Jawa Pos, namun tidak menutup
ketatnya persaingan untuk menembus kolom rubrik For Her tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar