Perempuan: Korban Ganda dalam Berita* ( Dimuat dalam Jawa Pos Kolom For Her 12 Maret 2011)

on Kamis, 06 September 2012
gambar diambil dari sofiarli.blogspot.com
        Tindak kekerasan pada perempuan merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hal tersebut berupa tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual.  Sikap-sikap tradisional yang masih ada sampai saat ini, di mana perempuan mengalami subordinasi (penempatan kaum perempuan pada posisi yang tidak penting) mampu mengekalkan praktik kekerasan dan penganiayaan terhadap perempuan. Pada kondisi demikian perempuan telah menjadi korban karena hilangnya hak asasi dan kebebasan fundamental perempuan berdasarkan hukum internasional atau berdasar konvensi hak asasi manusia.

Dalam media, salah satu  dampak negatifnya bagi perempuan adalah terdapatnya eksploitasi perempuan dalam media massa. Eksploitasi terhadap perempuan terjadi dengan disadari ataupun tidak disadari oleh perempuan itu sendiri, dan dengan berbagai bentuk, baik eksploitasi fisik maupun eksploitasi perempuan dengan peran stereotip (pelabelan) ataupun subordinasi. Pencitraan perempuan melalui media massa tersebut masih sangat kental budaya patriarki. Sejak era reformasi media massa telah memasuki jaman atau era kebebasan penuh tanpa ada pembredelan, pembatasan tayangan, larangan tayangan, maupun visualisasi vulgar di majalah oleh pihak pemerintah. Reformasi memiliki dua dampak dalam kehidupan sosial kita, salah satunya reformasi memberi informasi sebebas-bebasnya, disisi lain, perspektif media dalam mengangkat persoalan perempuan masih sangat bias. Dalam hal ini dinamika usaha untuk menempatkan perempuan pada harkat dan martabatnya tidak berjalan sebagimana mestinya.
Persoalan perempuan di media massa salah satunya yang masih sering muncul ke permukaan adalah dalam isi pemberitaan yang tidak sensitif dengan persoalan-persoalan perempuan. Hasil penelitian dan workshop Aliansi Jurnalis Independent pada tahun 2009 (dalam Jurnal Perempuan No 67 Tahun 2010) menyebutkan, perempuan yang menjadi korban kriminalitas kadang menjadi korban kedua kali akibat pemberitaan, beberapa berita bahkan menulis dengan bahasa yang vulgar dan sensasional. Media massa kerap mengabaikan kode etik Jurnalistik Indonesia pasal 5 yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”,  kenyataannya masih banyak media yang menuliskan nama lengkap bahkan ditampilkan foto perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual.
Pada saat yang bersamaan tersebut, dimana perempuan telah menjadi korban kekerasan seksual, perempuan masih harus menanggung konsekuensi sosial di masyarakat yang lebih berat setelah munculnya pemberitaan tentang dirinya sebagai konsumsi publik. Stereotipe muncul dengan mengarah pada kaum perempuan, sayangnya stereotipe lebih mengarah pada hal yang bersifat negatif. Hal  ini, pada dasarnya terjadi karena pemahaman yang seringkali keliru terhadap posisi perempuan. Para perempuan yang telah menjadi korban kekerasan dapat menjadi semakin terpojokkan dalam sisi pelabelan dengan muncul asumsi bahwa penyebab munculnya kekerasan pada perempuan, disinyalir karena penampilan mereka sendiri, seakan tubuh perempuanlah yang menjadi obyek menarik dan menjadi komoditas.
Tindakan efektif harus diambil untuk menjamin bahwa media menghormati dan mempromosikan penghargaan terhadap perempuan. Sekarang ini semakin dipahami bahwa citra perempuan adalah sesuatu yang dibentuk oleh wacana di luar dirinya dan bukan berasal dari perempuan sendiri. Masih diperlukan kesadaran massal, bahwa laki-laki bersama dengan perempuan bisa menjadi pencegah atau melakukan pencegahan atas berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan. Dalam kehidupannya sebagai warga negara, perempuan kerap mengalami diskriminasi sistemik sosial budaya negeri ini. Karena perempuan, dianggap “tak penting” untuk dibela, seperti yang penulis telah ungkapkan di atas.

Penulis : Tiyas Nur Haryani

Balik Layar:
Tulisan ini ditulis pada momen adanya kesempatan di kolom For Her di Harian Jawa Pos. Sekali tulis dan satu kali kirim, tulisan ini langsung dapat diterima redaksi. Diakui, rubrik yang ditembus memang bukan rubrik utama di Harian Jawa Pos, namun tidak menutup ketatnya persaingan untuk menembus kolom rubrik For Her tersebut.

0 komentar: