Membela Aksi Mahasiswa* (Dimuat dalam Opini Joglosemar 30 Maret 2012)

on Kamis, 06 September 2012

gambar diambil dari republika.co.id
Judul itu saya ambil karena saat ini banyak sekali perbincangan mengenai aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa apalagi arahannya selalu dikaitkan kericuhan serta efektifitas aksi jalanan yang dilakukan mahasiswa. Jika melihat landasannya dalam konstitusi kita sudah jelas bahwa menyampaikan pendapat adalah hak asasi yang dilindungi Negara dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) yang berbunyi  setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Juga ditambahkan dengan pasal 28F yang berbunyi  setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Selain itu untuk unjuk rasa sendiri juga diatur dengan UU Nomer 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Dasar hukum inilah yang menjadi landasan ketika masyarakat dan mahasiwa melakukan aksi demonstrasi
Berbicara tentang aksi demonstrasi sendiri bukanlah aktivitas yang baru saja ada di republik ini. Melihat sejarahnya aksi demonstrasi telah ada pada tahun 1920 oleh Serikat Buruh Kereta Api yang menuntut kenaikan gaji mereka kepada pihak Belanda. Aksi demonstrasi kerap dilakukan oleh pegawai-pegawai yang bekerja pada pemerintahan dan perusahaan Belanda. Hal ini berlanjut hingga munculnya gerakan pemuda dan mahasiswa yang diidentikkan dengan kelas menengah baru dan organisasi pergerakan nasional  pada tahun 1930-1945  yang aktif menyuarakan kemerdekaan nasional lewat demonstrasi dan rapat-rapat raksasa yang digelar di berbagai kota di Indonesia. Tan Malaka seorang pahlawan nasional menulis buku tentang Massa Aksi pada tahun 1926 yang berisi  pedoman untuk rakyat yang sedang mengorganisir dirinya untuk mendapatkan kemerdekaan. Tak hanya itu paska kemerdekaan republik Indonesia aksi demonstrasi sering dilakukan oleh rakyat, mahasiswa dan partai politik untuk mendukung atau menolak kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Orde Lama pada periode 1950-1965. Aksi demonstrasi sempat meredup di era Orde Baru karena dikeluarkannya beberapa kebijakan yang melarang aktivitas politik masyarakat khususnya mahasiswa dalam menentang kebijakan pemerintah kecuali lewat jalur resmi (partai politik dan media yang disensor ketat).
Dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK di kampus-kampus pada tahun 1978 membuat mahasiswa diharuskan kreatif dengan mengkritik pemerintah lewat cara lain. Mahasiswa mendirikan lembaga pers kampus, menyelenggarakan diskusi dan kelompok studi serta melatih kepemimpinan dalam organisasi internal dengan kampus sebagai laboratoriumnya. Meski bukan aksi turun ke jalan secara langsung namun semangat pembelaan mahasiswa untuk kepentingan rakyat dari mahasiswa dapat terlihat di periode 1990-1997 dalam kasus-kasus seperti Kedungombo, penghapusan SBSB, dan terakhir yang paling dekat adalah gerakan mahasiswa 1998 yang berperan besar memimpin masyarakat pada penjatuhan rezim Orde Baru setelah bertahan berkuasa selama 32 Tahun
Pasca runtuhnya orde baru, aksi demonstrasi mahasiswa sering dikritik karena berujung ricuh dan membuat macet jalan serta tidak efektif lagi di tengah keran demokrasi yang dibuka bebas. Apakah benar aksi demonstrasi mahasiswa memang dirancang ricuh untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat? Jika melihat proses dan substansinya aksi demonstrasi mahasiswa tentu tidak sembarangan untuk menurunkan massa  ke jalan. Aksi demonstrasi dilakukan ketika sudah tidak ada lagi alternatif masyarakat untuk menyuarakan aspirasi. Tersumbatnya keran-keran aspirasi dapat kita lihat dari perjalanan demokrasi pasca reformasi. Partai-partai bermunculan namun hanya menyibukkan diri dengan kekuasaan dan pencitraan, ditambah pula kerja-kerja pemerintah yang tidak optimal mengakibatkan kesejahteraan masyarakarat justru menjauh dari yang diamanatkan oleh semangat reformasi. Ini terbukti dengan kebijakan liberalisasi sektor-sektor publik menjadi milik swasta, deregulasi aturan yang memberi peluang sebesar-besarnya untuk korporasi asing yang mematikan sektor industri dalam negeri serta tidak tegasnya pemerintah memberantas korupsi menggambarkan aspirasi masyarakat untuk dilibatkan dalam pengambilan kebijakan seringkali terhambat ketika melalui jalur politik resmi. Dengan alasan itulah aksi mahasiswa turun ke jalan tetap ada meskipun berkurang intensitasnya di era reformasi. Bagi mahasiswa aksi demonstrasi  merupakan cara yang efektif untuk menyuarakan kepentingan masyarakat ketika komunikasi politik dihambat seperti dijelaskan di atas.
Untuk proses diskusi tentang isu yang akan didemonstrasikan mahasiswa idealnya melalui tahapan perdebatan yang panjang dan mengakar dan diangkat dalam rangkaian diskusi. Berbagai teori, analisis, wacana serta opini selalu dibahas matang dan demokratis, seringkali pula mengundang pembicara yang berkompeten pada pembahasan isu tersebut untuk mempertajam analisis selain dari mahasiswa sendiri. Belum lagi merumuskan tuntutan yang akan dibawa mahasiswa, jika selama ini masyarakat hanya melihat bentuk jadinya entah itu spanduk, poster atau selebaran yang dibawa mahasiswa saat aksi sebenarnya ada proses panjang agar tuntutan aksi mahasiswa tetap independen dan berpihak pada kepentingan masyarakat banyak bukan pada kepentingan politik tertentu.
Proses berikutnya adalah menyiapkan perangkat dan settingan aksi. Disini perangkat  aksi meliputi megafon, spanduk, poster, bendera, pita (jika diperlukan) dan selebaran yang akan dibagikan kepada masyarakat umum, wartawan serta aparat keamanan. Untuk settingan aksi sendiri berisi mengenai teknis berjalannya aksi yang meliputi jumlah peserta, rute aksi, jalur evakuasi ketika terjadi bentrok, sasaran aksi serta target aksi. Bicara tentang setting aksi  juga tidak lepas dari tuntutan yang dibawa, disini juga menentukan siapa kordinator lapangan, orator, agitator,negosiator, humas, tim keamanan serta dan notulen yang bertugas masing-masing untuk memperlancar berjalannya aksi. Semua direncanakan hingga kemungkinan terburuk yang akan terjadi ketika aksi. Tidak berhenti sampai disitu dalam setting aksi terdapat beberapa skenario pasca aksi berisi evaluasi dari berjalannya aksi serta lanjutan dari aksi demonstrasi.
Jika kemudian di lokasi aksi terjadi bentrok atau kericuhan seperti yang diberitakan media akhir-akhir ini maka seharusnya masyarakat mengetahui bahwa meski aksi demonstrasi direncanakan dengan matang, kondisi psikologis dan strategi massa aksi dapat berubah dalam hitungan menit. Spontanitas massa aksi dengan reaksi masyarakat terhadap berjalannya aksi, orasi yang memanas serta intimidasi dari pihak aparat keamanan seringkali ditemui pada saat berlangsungnya aksi. Ada kesengajaan dari aparat untuk menyusup ke dalam aksi demonstrasi untuk memanaskan suasana dan kemudian jika terjadi kericuhan maka dengan alasan mengganggu ketertiban umum maka aksi demonstrasi dapat dibubarkan oleh aparat dengan cara represif. Hal inilah yang seringkali luput dari perhatian media dan membentuk opini masyarakat yang buruk tentang aksi demonstrasi mahasiswa.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aksi demonstrasi mahasiswa haruslah dipahami sebagai aksi yang murni menyampaikan aspirasi masyarakat. Selama masih ada kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat serta ditutupnya pintu-pintu dialog dengan masyarakat maka aksi demonstrasi mahasiswa adalah reaksi yang wajar dalam kehidupan berdemokrasi. Akhir kata mengutip kata- kata Soe Hok Gie aktivis mahasiswa tahun 1966 bahwa kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda adalah idealisme. Hidup Gerakan Mahasiswa, Hidup Rakyat !

Penulis: Aldian Andrew Wirawan

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Nice info http://bit.ly/2OJQQpc

Unknown mengatakan...

terimakasih infonya sangat bermanfaat, kunjungi http://bit.ly/2CWVeP9