Resensi Novel " Sepatu Dahlan Iskan" : Kisah Nyentrik dari Menteri Unik* (Dimuat Dalam Resensi Solopos 1 Juli 2012)

on Kamis, 06 September 2012



Judul Buku      : Sepatu Dahlan.
Penulis             : Krishna Pabichara.
Penerbit           : Noura Books.
Tahun              : 2012.
Tebal               : 390 halaman.
Ukuran                        : 14 x 21 cm.
ISBN               :  978-602-9498-24-0

Masih ingat peristiwa lolosnya ratusan mobil di pintu tol Slipi? Masih ingat dibantingnya kursi pintu tol Slipi oleh seorang menteri? Masih ingat kah dengan ucapan seorang menteri bahwa 70% BUMN di Indonesia mendapatkan proyek lewat permainan uang atau sogok-menyogok? Ya, dibalik itu semua ada sosok seorang manusia bernama Dahlan Iskhan, Menteri BUMN.

Sebagai menteri, Dahlan Iskhan terbilang nyleneh. Ia sangat lengket dengan sepatu ket. Di saat menteri lain tampil dengan gaya necis dan sepatu mengkilap, Dahlan Iskhan justru sebaliknya. Novel berjudul Sepatu Dahlan diinspirasi dari kehidupan Dahlan Iskhan. Melalui novel ini, Krisna Pabichara, selaku penulis, memaparkan kehidupan Dahlan kecil di kampung Kebondalem di Kabupaten Magetan.
Membaca novel ini membuat saya selalu penasaran terhadap cerita dihalaman selanjutnya. Penulisnya sukses membuat saya tidak bosan membuka lembar demi lembar. Perpindahan antar bab mulus diceritakan. Namun ada bagian yang menurut saya terjadi missing link. Semisal antara bab 6 ke bab 7, dari membahas mengenai tim voli sekolahan berubah ke kehidupan Dahlan kecil .Sehingga saya agak susah mencerna bagian tersebut.
Kisah dalam novel ini sangat menginspirasi dalam menyelami kehidupan didunia ini. Fluktuasi hidup yang diibaratkan seperti roda yang berputar diceritakan secara tegas. Akan selalu ada perubahan untuk suatu hal yang selalu dapat diubah, asalkan kita mau mengubahnya. Tidak ada alasan untuk menyerah kepada suatu perubahan dengan tidak melakukan perubahan itu sendiri. Selain itu pula, di novel ini juga terdapat nilai bahwa sesuatu yang hidup pasti akan mengalami kematian. Dan sebagai manusia tidak bisa berlarut-larut dalam kesedihan itu.  Harus ada kebangkitan setelah kesedihan itu.
Lekat Dengan Kemiskinan
            Kehidupan Dahlan kecil yang lekat dengan kemiskinan ternyata tidak bisa dijadikan alasan mengurangi makna arti dari hidup  itu sendiri. Miskin bukan berarti tidak bahagia. Melainkan hanya menjalankan kehidupan berbeda saja dari orang kaya. Adanya prinsip ojo kepingin sugih, lan ojo wedi mlarat, yang berarti, jangan berharap ingin menjadi kaya dan  jangan takut hidup melarat, sukses membuat Dahlan kecil untuk tidak takut pada dunia.
            Kegiatan nguli nyeset tebu, angon kambing, mencari ikan di kali menjadi bagian tak terpisahkan dari Dahlan kecil. Rutinitas yang timbul akibat kemiskinan dan kecerian masa kecil. Ditengah kekayaan alam yang ada di kampungnya, tidak serta merta menjadikan Dahlan kecil dan masyarakat sekitarnya hidup bergelimangan harta. Lebih tepatnya mereka hanya menjadi menjadi penonton dikeruknya kekayaan alam didaerahnya.
            Sekalipun hidup dalam kemiskinan, Dahlan kecil tidak diajarkan untuk menghalalkan segala cara demi mencapai keinginannya. Memegang teguh keimanan ditanamkan menjadi patokan yang penting dalam menjalani hidup ini.
Perjuangan Dahlan kecil dalam menggapai impiannya untuk membeli sepeda dan sepatu patut dicontoh. Meskipun dalam prosesnya banyak halangan maupun rintangan tetapi Dahlan melewatinya dengan mulus. Dahlan mampu meraih impian dengan keringatnya sendiri. Semangat juang yang digambarkan dalam tokoh ini patut dan layak dijadikan teladan bagi para pembaca, terutama generasi muda. Itu lah nyentriknya dari kisah menteri unik ini.
Novel ini sangat cocok bagi semua kalangan, terutama bagi yang ingin memahami fluktuasi kehidupan. Kita tentunya sepakat bahwa kehidupan didunia ini tidak mungkin datar-datar saja. Selalu ada dinamika, permasalahan sekaligus solusi untuk memecahkannya. Setelah membaca novel ini saya sepertinya sudah tidak sabar lagi menanti edisi berikutnya yang berjudul Surat Dahlan dan Sepatu Dahlan. Selamat membaca.

* Penulis : Agung Pambudi

0 komentar: