Judul Buku : Sepatu Dahlan.
Penulis : Krishna Pabichara.
Penerbit : Noura Books.
Tahun : 2012.
Tebal : 390 halaman.
Ukuran : 14 x 21 cm.
ISBN :
978-602-9498-24-0Penulis : Krishna Pabichara.
Penerbit : Noura Books.
Tahun : 2012.
Tebal : 390 halaman.
Ukuran : 14 x 21 cm.
Masih ingat peristiwa
lolosnya ratusan mobil di pintu tol Slipi? Masih ingat dibantingnya kursi pintu
tol Slipi oleh seorang menteri? Masih ingat kah dengan ucapan seorang menteri bahwa
70% BUMN di Indonesia mendapatkan proyek lewat permainan uang atau
sogok-menyogok? Ya, dibalik itu semua ada sosok seorang manusia bernama Dahlan Iskhan, Menteri BUMN.
Sebagai menteri, Dahlan Iskhan terbilang nyleneh. Ia sangat lengket dengan
sepatu ket. Di
saat menteri lain tampil dengan gaya necis dan sepatu mengkilap, Dahlan Iskhan
justru sebaliknya. Novel berjudul Sepatu Dahlan diinspirasi dari kehidupan
Dahlan Iskhan. Melalui novel
ini, Krisna Pabichara, selaku penulis, memaparkan kehidupan Dahlan kecil di kampung
Kebondalem di Kabupaten Magetan.
Membaca novel ini
membuat saya selalu penasaran terhadap cerita dihalaman selanjutnya. Penulisnya sukses membuat saya tidak bosan membuka lembar
demi lembar. Perpindahan antar bab mulus diceritakan. Namun ada bagian yang
menurut saya terjadi missing link. Semisal antara bab 6 ke bab 7, dari membahas
mengenai tim voli sekolahan berubah ke kehidupan Dahlan kecil .Sehingga saya
agak susah mencerna bagian tersebut.
Kisah dalam novel ini
sangat menginspirasi dalam menyelami kehidupan didunia ini. Fluktuasi hidup
yang diibaratkan seperti roda yang berputar diceritakan secara tegas. Akan
selalu ada perubahan untuk suatu hal yang selalu dapat diubah, asalkan kita mau
mengubahnya. Tidak ada alasan untuk menyerah kepada suatu perubahan dengan tidak
melakukan perubahan itu sendiri. Selain itu pula, di novel ini juga terdapat
nilai bahwa sesuatu yang hidup pasti akan mengalami kematian. Dan sebagai
manusia tidak bisa berlarut-larut dalam kesedihan itu. Harus ada kebangkitan setelah kesedihan itu.
Lekat Dengan Kemiskinan
Kehidupan Dahlan kecil yang lekat dengan
kemiskinan ternyata tidak bisa dijadikan alasan
mengurangi makna arti dari hidup itu sendiri. Miskin bukan berarti tidak bahagia. Melainkan hanya menjalankan kehidupan berbeda
saja dari orang kaya. Adanya prinsip ojo
kepingin sugih, lan ojo wedi mlarat, yang
berarti, jangan berharap ingin menjadi kaya dan
jangan takut hidup melarat, sukses membuat Dahlan kecil untuk tidak
takut pada dunia.
Kegiatan nguli nyeset tebu, angon kambing, mencari ikan di kali menjadi bagian tak terpisahkan
dari Dahlan kecil. Rutinitas yang timbul akibat kemiskinan dan kecerian masa
kecil. Ditengah kekayaan alam yang ada di kampungnya, tidak serta merta
menjadikan Dahlan kecil dan masyarakat sekitarnya hidup bergelimangan harta.
Lebih tepatnya mereka hanya menjadi menjadi penonton dikeruknya kekayaan alam
didaerahnya.
Sekalipun hidup
dalam kemiskinan, Dahlan kecil tidak diajarkan untuk menghalalkan segala cara
demi mencapai keinginannya. Memegang teguh keimanan ditanamkan menjadi patokan
yang penting dalam menjalani hidup ini.
Perjuangan Dahlan kecil
dalam menggapai impiannya untuk membeli
sepeda dan sepatu patut dicontoh. Meskipun dalam prosesnya banyak halangan
maupun rintangan tetapi Dahlan melewatinya dengan mulus. Dahlan mampu meraih impian
dengan keringatnya sendiri. Semangat juang yang digambarkan dalam tokoh ini
patut dan layak dijadikan teladan bagi para pembaca, terutama generasi muda.
Itu lah nyentriknya dari kisah
menteri unik ini.
Novel ini sangat cocok
bagi semua kalangan, terutama bagi yang ingin memahami fluktuasi kehidupan.
Kita tentunya sepakat bahwa kehidupan didunia
ini tidak mungkin datar-datar saja. Selalu ada dinamika, permasalahan sekaligus
solusi untuk memecahkannya. Setelah membaca novel ini saya sepertinya sudah
tidak sabar lagi menanti edisi berikutnya yang berjudul Surat Dahlan dan Sepatu
Dahlan. Selamat membaca.
* Penulis : Agung Pambudi
0 komentar:
Posting Komentar