gambar diambil dari rudyansyah08.blogspot.com |
Di tempat
lainnya, di emperan- emperan gedung yang siangnya dijadikan gedung pertemuan,
malam harinya ternyata terdapat pemandangan yang begitu mencengangkan. Banyak
para gelandangan yang terpaksa tidur lebih awal karena menahan lapar.
Kebanyakan dari mereka, penulis menjamin, pasti banyak yang tidak lagi memiliki
Kartu Tanda Penduduk. Hal itu penulis ketahui ketika mereka mengantri
pengambilan daging pada hari raya idul kurban, kemudian mengeluarkan KTP yang
telah habis masa berlakunya sejak 10 tahun yang lalu sebagai syarat
pengambilan. Hal ini menggambarkan betapa mereka sudah tidak peduli lagi dengan
bisnis negara ini. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus hidup esok hari, walau
dengan mengais sisa lauk di warung- warung koboy pinggir jalan. Mereka inilah
“Bangsa yang terlupa”, rakyat Indonesia yang juga dibuang oleh Indonesia
sendiri. Bagi mereka, tanah air ini tidak lagi ibu pertiwi.
Sementara itu,
kampus tempat Umini dan keluarganya menyambung nyawa, tempat mahasiswa yang
sering menggembar- gemborkan isu pergerakan sebagai oposisi konstruktif
Pemerintah justru di gerbang depan dan belakangnya terdapat papan bertuliskan
“Pengemis dan Pemulung dilarang berada di sekitar Area Kampus”. Begitupun
gedung- gedung perkantoran megah lain tempat alokasi dana- dana Pemerintah
bersarang. Mereka bahkan tidak lagi percaya diri untuk dapat singgah di masjid-
masjid kampung atau pombensin untuk
mendapatkan tempat singgah yang lebih hangat karena sadar akan status sosial
mereka di mata masyarakat. Mereka sangat menyadari bahwa mereka adalah makhluk
yang terbuang, bangsa yang terlupa.
Di sisi lain,
media cetak maupun elektronik yang katanya merupakan media informasi yang
bertugas sebagai penyambung lidah masyarakat pun lebih suka memberitakan konflik
dana suap para wakil rakyat yang tak kunjung usai dengan dibumbui kontroversi-
kontroversi tambahan yang sebenarnya tidak penting agar lebih menjual.
Sayangnya, masyarakat kita hari ini sangat menikmati pertunjukan- pertunjukan
kebohongan publik yang dilakukan oleh para elite politik tersebut. Mereka
geram, namun sangat penasaran dengan kebohongan lain yang dimunculkan oleh
berita televisi yang sangat terbuka dan demokratis pasca tumbangnya rezim orde
baru. Bangsa yang terlupa semakin tak memiliki ruang dalam ingatan masyarakat
kita kecuali ketika bertemu mereka di jalan dengan memberi sisa recehan saja.
Setelah itu, mereka tidak akan lagi diperbincangkan atau dibawa ke forum- forum
diskusi ilmiah untuk dianalisis dan dicari pemecahan masalahnya karena mereka
bukanlah elite yang patut diangkat sebagai judul forum- forum tersebut.
Lalu, tanggung
jawab siapakah mereka ini sebenarnya? Tujuan terselenggaranya Negara Indonesia
yang termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 adalah jelas untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal tersebut dielaborasi
lagi ke dalam beberapa pasal dalam UUD 1945 hingga hari ini mulai dari pasal
26, 27,28, 29, 30,31, 33 dan 34 yang keseluruhannya merupakan jaminan dan janji
untuk warga negara yang dijelaskan Pasal 26 sebagai orang- orang bangsa
Indonesia asli dan orang- orang bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang
sebagai warga Negara.
Data dari
Badan Pusat Statistik per Maret 2011 yang sempat menjadi kontroversi per Maret
2011 sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Dibandingkan jumlah penduduk
miskin per Maret 2010 yang berjumlah 31,02 juta orang (13,33 persen).
Kontroversi terjadi disebabkan karena standard kemiskinan Internasional adalah
masyarakat yang memiliki penghasilan kurang dari USD 2 per hari atau setara
dengan Rp. 540.000,00/kapita/bulan, sedangkan data kemiskinan makro Indonesia
hanya menggunakan batasan Rp. 233.740,00/kapita/bulan. Negara Vietnam yang
memiliki pendapatan perkapita lebih rendah
menggunakan patokan USD 1,5 atau setara dengan Rp.450.000,00, nyaris dua
kali lipat dari standard yang kita gunakan. Selain itu, kontroversi juga
disebabkan sampel yang dipakai hanya 68.000 orang, apakah representatif dengan
kondisi warga dengan garis kemiskinan yang sebenarnya, bahkan untuk
mempedulikan “bangsa yang terlupa” yang disebutkan penulis?
Berbincang
soal kemiskinan hari ini memang tidak akan selesai jika kita menunggu Pemerintah turun tangan untuk
menyelesaikannya. Namun persoalan ini memang erat berakar pada kebijakan
politik. Seperti yang diungkapkan Erie Sudewo, “menggusur satu rumah itu
tercela, tapi menggusur 1000 rumah hasilnya real
estate”. Maka kembali pembenahan mental pemangku kebijakanlah tempat kita
bergantung. Mengatasi orang lapar jelas lebih mudah karena obat lapar adalah
makan. Setelah kenyang, jiwa akan lebih mudah untuk dibentuk. Sedangkan
kemiskinan yang terberat adalah miskin mental. Ditangan orang yang rusak
mentalnya, ilmu akan makin berbahaya. Di hati orang yang tamak, ilmu akan
dimafaatkan untuk kepentingan sendiri. Seorang kuli bangunan yang lapar tak
akan sanggup menjual rumah dan isinya, namun seorang pejabat yang rusak
mentalnya terbukti sanggup untuk menjual negaranya.
Ujungnya, partisipasi aktif warga Negara dalam
mencerna Program- program pemberdayaan masyarakat merupakan aspek paling
penting. Investasi produktif bukanlah selalu memberi ikan pada mereka yang
meminta, melainkan memberi pancingan dan kail untuk mereka bertahan hidup lebih
lama. Memberi kehidupan pada “bangsa yang terlupa” memang pekerjaan yang tidak
akan selesai dengan sekali uluran tangan, melainkan pekerjaan yang harus integrated and sustainable (terpadu dan
berkelanjutan). Mereka, termasuk didalamnya anak- anak miskin jalanan harus
mendapatkan hak akan edukasi yang layak dan tepat sasaran untuk dapat
mengembangkan skill mereka. Rumah
singgah yang telah banyak diprogramkan dapat menjadi solusi jika kurikulum yang
disajikan berbasis pembinaan mental dan pendekatan akan pemenuhan kebutuhan
mereka akan masa depan.
Selanjutnya, Para
pemilik modal tak seharusnya mengaku sebagai social entrepreneur jika program- program CSR yang mereka telurkan kembali hanya mencari untung semata. Program
pemberdayaan ekonomi kerakyatan harus terus dihidupkan dengan pendampingan
partisipatif dari birokrasi, akademisi dan praktisi. Social entrepreneur harus bisa menuntaskan permasalahan-
permasalahan sosial hingga tuntas. Jiwa- jiwa ini harus terus dipupuk untuk
menyelamatkan banyak nyawa. Bangsa yang terlupa pun tidak butuh untuk diingat,
mereka hanya butuh untuk mengembalikan ingatan bahwa mereka masih berpijak di
atas tanah air Indonesia tercinta.
* Penulis : Kalis Mardi Asih
1 komentar:
Kami menyediakan arsip PDF SOLOPOS.
Bila menghendaki harga Rp 4.000/ edisi.
Untuk pelayanan arsip PDF SOLOPOS edisi lama
Bila arsip dikopi di kantor redaksi SOLOPOS, siapkan flashdisk anda.Bila anda tidak mempunyai flashdisk, kami menyedikan cakram DVD berikut boxnya dengan biaya Rp 7.500. Untuk tariff arsip PDF, harga per edisi utuh Rp 4.000. Alamat redaksi kami ada di Jalan Adisucipto 190 Solo.
Bila peminat ada di luar kota dan menghendaki arsip PDF, maka biaya dikenakan biaya Rp 10.000 untuk pemesanan 1 atau 2 edisi . Arsip PDF akan dikirim via email.
Priyono
Staf Penjualan Online
081578830445
Posting Komentar