Pemerintah Melupakan Orang Miskin* (Dimuat dalam Mimbar Mahasiswa Solopos 21 Februari 2012)

on Jumat, 07 September 2012


gambar diambil dari rudyansyah08.blogspot.com
Siang yang terik pada tanggal 14 Februari 2012 di gerbang belakang kampus megah Universitas Sebelas Maret Surakarta, nampak seorang Bapak tua renta bersama anaknya yang dari jauh begitu memprihatinkan. Karena penasaran, penulis pun menghampirinya. Ternyata kondisi mereka justru lebih memprihatinkan dari yang penulis duga sebelumnya. Si bapak yang duduk telanjang dada sedang terkulai lemas karena sesak nafas, sedangkan Umini, anak perempuannya nampak batuk kronis dengan tubuh yang tinggal tulang bahkan volume kaki yang hampir tak kuat menopang berat badannya. Dia sedang menunggu ibunya yang mengemis di area belakang kampus. Sang ibu diprediksi akan pulang ketika terik mulai menyengat dengan dua kemungkinan, mendapat uang atau tidak. Uang tersebut harus dapat membiayai angkot dan becak mereka menuju rumah di daerah Sangkrah, Kampung Sewu, Surakarta yang sebentar lagi juga hampir digusur karena proyek pembangunan pintu air.

Di tempat lainnya, di emperan- emperan gedung yang siangnya dijadikan gedung pertemuan, malam harinya ternyata terdapat pemandangan yang begitu mencengangkan. Banyak para gelandangan yang terpaksa tidur lebih awal karena menahan lapar. Kebanyakan dari mereka, penulis menjamin, pasti banyak yang tidak lagi memiliki Kartu Tanda Penduduk. Hal itu penulis ketahui ketika mereka mengantri pengambilan daging pada hari raya idul kurban, kemudian mengeluarkan KTP yang telah habis masa berlakunya sejak 10 tahun yang lalu sebagai syarat pengambilan. Hal ini menggambarkan betapa mereka sudah tidak peduli lagi dengan bisnis negara ini. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus hidup esok hari, walau dengan mengais sisa lauk di warung- warung koboy pinggir jalan. Mereka inilah “Bangsa yang terlupa”, rakyat Indonesia yang juga dibuang oleh Indonesia sendiri. Bagi mereka, tanah air ini tidak lagi ibu pertiwi.
Sementara itu, kampus tempat Umini dan keluarganya menyambung nyawa, tempat mahasiswa yang sering menggembar- gemborkan isu pergerakan sebagai oposisi konstruktif Pemerintah justru di gerbang depan dan belakangnya terdapat papan bertuliskan “Pengemis dan Pemulung dilarang berada di sekitar Area Kampus”. Begitupun gedung- gedung perkantoran megah lain tempat alokasi dana- dana Pemerintah bersarang. Mereka bahkan tidak lagi percaya diri untuk dapat singgah di masjid- masjid kampung atau pombensin untuk mendapatkan tempat singgah yang lebih hangat karena sadar akan status sosial mereka di mata masyarakat. Mereka sangat menyadari bahwa mereka adalah makhluk yang terbuang, bangsa yang terlupa.
Di sisi lain, media cetak maupun elektronik yang katanya merupakan media informasi yang bertugas sebagai penyambung lidah masyarakat pun lebih suka memberitakan konflik dana suap para wakil rakyat yang tak kunjung usai dengan dibumbui kontroversi- kontroversi tambahan yang sebenarnya tidak penting agar lebih menjual. Sayangnya, masyarakat kita hari ini sangat menikmati pertunjukan- pertunjukan kebohongan publik yang dilakukan oleh para elite politik tersebut. Mereka geram, namun sangat penasaran dengan kebohongan lain yang dimunculkan oleh berita televisi yang sangat terbuka dan demokratis pasca tumbangnya rezim orde baru. Bangsa yang terlupa semakin tak memiliki ruang dalam ingatan masyarakat kita kecuali ketika bertemu mereka di jalan dengan memberi sisa recehan saja. Setelah itu, mereka tidak akan lagi diperbincangkan atau dibawa ke forum- forum diskusi ilmiah untuk dianalisis dan dicari pemecahan masalahnya karena mereka bukanlah elite yang patut diangkat sebagai judul forum- forum tersebut.
Lalu, tanggung jawab siapakah mereka ini sebenarnya? Tujuan terselenggaranya Negara Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 adalah jelas untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal tersebut dielaborasi lagi ke dalam beberapa pasal dalam UUD 1945 hingga hari ini mulai dari pasal 26, 27,28, 29, 30,31, 33 dan 34 yang keseluruhannya merupakan jaminan dan janji untuk warga negara yang dijelaskan Pasal 26 sebagai orang- orang bangsa Indonesia asli dan orang- orang bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang sebagai warga Negara.
Data dari Badan Pusat Statistik per Maret 2011 yang sempat menjadi kontroversi per Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Dibandingkan jumlah penduduk miskin per Maret 2010 yang berjumlah 31,02 juta orang (13,33 persen). Kontroversi terjadi disebabkan karena standard kemiskinan Internasional adalah masyarakat yang memiliki penghasilan kurang dari USD 2 per hari atau setara dengan Rp. 540.000,00/kapita/bulan, sedangkan data kemiskinan makro Indonesia hanya menggunakan batasan Rp. 233.740,00/kapita/bulan. Negara Vietnam yang memiliki pendapatan perkapita lebih rendah  menggunakan patokan USD 1,5 atau setara dengan Rp.450.000,00, nyaris dua kali lipat dari standard yang kita gunakan. Selain itu, kontroversi juga disebabkan sampel yang dipakai hanya 68.000 orang, apakah representatif dengan kondisi warga dengan garis kemiskinan yang sebenarnya, bahkan untuk mempedulikan “bangsa yang terlupa” yang disebutkan penulis?
Berbincang soal kemiskinan hari ini memang tidak akan selesai jika kita  menunggu Pemerintah turun tangan untuk menyelesaikannya. Namun persoalan ini memang erat berakar pada kebijakan politik. Seperti yang diungkapkan Erie Sudewo, “menggusur satu rumah itu tercela, tapi menggusur 1000 rumah hasilnya real estate”. Maka kembali pembenahan mental pemangku kebijakanlah tempat kita bergantung. Mengatasi orang lapar jelas lebih mudah karena obat lapar adalah makan. Setelah kenyang, jiwa akan lebih mudah untuk dibentuk. Sedangkan kemiskinan yang terberat adalah miskin mental. Ditangan orang yang rusak mentalnya, ilmu akan makin berbahaya. Di hati orang yang tamak, ilmu akan dimafaatkan untuk kepentingan sendiri. Seorang kuli bangunan yang lapar tak akan sanggup menjual rumah dan isinya, namun seorang pejabat yang rusak mentalnya terbukti sanggup untuk menjual negaranya.
 Ujungnya, partisipasi aktif warga Negara dalam mencerna Program- program pemberdayaan masyarakat merupakan aspek paling penting. Investasi produktif bukanlah selalu memberi ikan pada mereka yang meminta, melainkan memberi pancingan dan kail untuk mereka bertahan hidup lebih lama. Memberi kehidupan pada “bangsa yang terlupa” memang pekerjaan yang tidak akan selesai dengan sekali uluran tangan, melainkan pekerjaan yang harus integrated and sustainable (terpadu dan berkelanjutan). Mereka, termasuk didalamnya anak- anak miskin jalanan harus mendapatkan hak akan edukasi yang layak dan tepat sasaran untuk dapat mengembangkan skill mereka. Rumah singgah yang telah banyak diprogramkan dapat menjadi solusi jika kurikulum yang disajikan berbasis pembinaan mental dan pendekatan akan pemenuhan kebutuhan mereka akan masa depan.
Selanjutnya, Para pemilik modal tak seharusnya mengaku sebagai social entrepreneur jika program- program CSR yang mereka telurkan kembali hanya mencari untung semata. Program pemberdayaan ekonomi kerakyatan harus terus dihidupkan dengan pendampingan partisipatif dari birokrasi, akademisi dan praktisi. Social entrepreneur harus bisa menuntaskan permasalahan- permasalahan sosial hingga tuntas. Jiwa- jiwa ini harus terus dipupuk untuk menyelamatkan banyak nyawa. Bangsa yang terlupa pun tidak butuh untuk diingat, mereka hanya butuh untuk mengembalikan ingatan bahwa mereka masih berpijak di atas tanah air Indonesia tercinta.

* Penulis : Kalis Mardi Asih

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Kami menyediakan arsip PDF SOLOPOS.
Bila menghendaki harga Rp 4.000/ edisi.

Untuk pelayanan arsip PDF SOLOPOS edisi lama
Bila arsip dikopi di kantor redaksi SOLOPOS, siapkan flashdisk anda.Bila anda tidak mempunyai flashdisk, kami menyedikan cakram DVD berikut boxnya dengan biaya Rp 7.500. Untuk tariff arsip PDF, harga per edisi utuh Rp 4.000. Alamat redaksi kami ada di Jalan Adisucipto 190 Solo.
Bila peminat ada di luar kota dan menghendaki arsip PDF, maka biaya dikenakan biaya Rp 10.000 untuk pemesanan 1 atau 2 edisi . Arsip PDF akan dikirim via email.

Priyono
Staf Penjualan Online
081578830445