Internalisasi Karakter Cinta Lingkungan* (DImuat Dalam Mimbar Mahasiswa Solopos 5 Juni 2012)

on Jumat, 07 September 2012
gambar diambil dari seruu.com
       Kurang dari sepuluh tahun yang lalu, saya masih dapat menangkap kupu-kupu yang hinggap pada bunga-bunga di taman sekolah. Saat itu saya juga masih mengenal beberapa jenis capung yang biasa saya tangkap dengan menggunakan lidi yang ujungnya diolesi dengan getah nangka. Pun juga dengan hewan-hewan seperti kepik, ikan-ikan kecil di sungai,kepiting di selokan, juga anak katak yang belum sempurna metamorfosanya. Namun hari ini, tanpa disadari kita semua telah susah untuk menemukan kupu-kupu atau capung dan juga hewan-hewan di atas. Ekosistem mereka telah berubah menjadi tembok berpondasikan beton. Sungai dan selokan yang dahulu dijadikan media bermain sekaligus belajar bagi anak-anakpun sudah semakin berkurang kualitas airnya sehingga tidak dapat memberi kehidupan.


Menyoal tentang lingkungan hidup, secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa telah terjadi perubahan yang cukup signifikan pasca isu pemanasan global (climate change) meluas di masyarakat yakni kenaikan permukaan air laut, kenaikan temperatur udara, perubahan curah hujan, dan frekuensi perubahan iklim yang ekstrem. Demikian pula, pengaruh kombinasi peningkatan suhu rata-rata wilayah, tingkat presipitasi wilayah, intensitas kemarau/banjir, dan akses ke air bersih, yang kemudian juga menjadi tantangan bagi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia menurut MP3EI (Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia).
Hari ini, 5 Juni 2012,kita kembali memperingati Hari Lingkungan Hidup sedunia sejak tahun 1972 lalu terjadi pembukaan konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm atau dikenal pula sebagai Konferensi Stokholm. Perubahan buruk yang terjadi pada lingkungan yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat ini memang melahirkan sejumlah keprihatinan atas nasib bumi yang akan kita wariskan pada anak cucu kita pada tahun-tahun mendatang. Sehingga, kini kita sangat akrab dengan label “green” pada banyak aspek seperti green bag,green economy,green building,juga green development yang menekankan pada prinsip 3R yakni reduce,reuse dan recycle. Kita juga mengenal banyak komunitas seperti Greeneration Indonesia, Bike to Work, Solo Berkebun, dan KOPHI (Koalisi Pemuda Hijau Indonesia). Program-program seperti Earth Hour dan Car Free Day pun dianggap berpotensi untuk dikembangkan di banyak kota karena perhitungan secara kuantitatif membuktikan bahwa program tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap pengurangan emisi serta penghematan enerji.
Namun apakah semua gerakan atau komunitas itu benar efektif untuk menjaga lingkungan hidup? Dua fenomena berbeda terjadi di Jepang dan Singapura. Warga Negara Jepang selalu membuang sampah pada tempatnya di belahan bumi manapun mereka berada. Sedangkan warga Negara Singapura, walaupun mereka selalu membuang sampah pada tempatnya ketika berada di Negara Singapura, namun mereka tetap membuang sampah sembarangan ketika mereka berada di Batam. Hal berbeda tersebut terjadi karena di Jepang, karakter cinta lingkungan memang diinternalisasikan sejak kecil pada tiap-tiap warga Negara. Sedangkan di Singapura, pola cinta lingkungan tersebut diterapkan melalui sistem sangsi. Alhasil,ketika mereka tidak lagi berada dalam sistem,merekapun tempat membuang sampah sembarangan.
Hal serupa mungkin akan kita temui di Indonesia. Dahulu,SMA saya menerapkan sistem larangan membawa motor bagi siswa yang memiliki jarak rumah kurang dari 2,5 kilometer dari sekolah. Namun,siswa-siswa yang terikat aturan tersebut akhirnya justru tetap membawa motor dengan menyewa lahan parkir swasta di dekat sekolah. Pada Car free day Slamet Riyadi Solo misalnya, kita juga melihat tetap ada para pengendara motor yang memaksa lewat pada area bebas motor. Selepas itu,car free day yang ditutup pada jam sepuluh pagi menyisakan sampah disana-sini. Terlihat aneh, kita seakan sudah tidak dapat diatur lagi dengan peraturan yang bersifat top down. Internalisasi karakter cinta lingkungan di Jepang terbukti efektif, namun hal tersebut juga tidak serta merta terbentuk. Sehingga kolaborasi sistem top down yang bersumber regulasi atau kebijakan dari birokrasi dan bottom up yang bersumber dari kesadaran pribadi menjadi solusi yang harus segera diimplementasikan di Indonesia.
Di Kota Depok,Jawa Barat,terdapat Poklili (Kelompok Peduli Lingkungan) yang diinisiasi oleh sebuah komunitas ibu rumah tangga. Para warga setia mengumpulkan sampah pribadi dan rumah tangga mereka karena memberikan nilai ekonomis. Program tersebut bernama arisan sampah, dimana sampah rumah tangga mereka dikumpulkan ke rumah penampung dan dapat diuangkan setelah ditimbang. Sampah-sampah tersebut kemudian dipisahkan antara sampah organik dan sampah non organik. Selanjutnya terdapat program pemberdayaan masyarakat berupa pembuatan pupuk kompos dan kerajinan tangan yang sebagian besar berbahan dasar sampah plastik. Program Poklili tersebut merupakan contoh kolaborasi strategi top down dan bottom up yang berhasil. Walaupun awalnya masyarakat melakukan hal tersebut hanya untuk mengejar keuntungan ekonomis, namun akhirnya mereka paham akan keuntungan memiliki lingkungan hidup yang bersih melalui edukasi yang secara rutin diberikan dengan pendekatan yang tepat. 
Transformasi dari era agraris kepada era industrialisasi dan konsumsi massa sekarang ini juga membawa masalah pelik bagi Indonesia. Kita seringkali melihat fenomena lahan pertanian yang berubah menjadi industri batu bata sewaan. Hal tersebut didasari oleh abnormalisasi yang dilakukan kaum neoliberalis sehingga masyarakat petani berpikir bahwa bertani itu tidak ada untungnya. Mereka menyewakan lahan bertani mereka untuk mendapatkan uang instan. Lahan mereka digali hingga kedalamannya berkurang mencapai tigameter. Setelah waktu kontrak habis, para petani dirugikan karena lapisan tanah yang subur untuk bertani telah hilang digali. Mereka lalu diberi solusi untuk menggunakan pupuk buatan dalam dosis yang besar, bibit-bibit belian yang juga bersumber dari kaum neolib.
Yang lebih parah lagi kita lihat bahwa lahan-lahan pertanian yang tidak hanya dikontrakkan, namun dibeli untuk pendirian bangunan-bangunan besar atau mal. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem kita sehingga timbul bencana banjir karena kurangnya tanah resapan saja namun bencana lanjutan bagi warga yang ditipu dengan uang instan. Mereka kemudian diberi pekerjaan sebagai buruh-buruh mal dengan sistem kontrak kemudian kehilangan pekerjaan ketika kontrak mereka habis. Uang instan yang didapat pun telah habis digunakan untuk kebutuhan hidup dalam waktu yang relatif singkat.
Perubahan UUD 1945 setelah amandemen yang menambahkan kalimat “dikelola secara efektif dan efisien” yang menyambung kalimat “Bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” menyebabkan kebijakan-kebijakan Pemerintah tidak berpihak pada lingkungan hidup dikarenakan semakin menguatnya multinational corporation yang hanya menyisakan perburuhan serta limbah industri yang dialirkan begitu saja ke sungai-sungai. Akibatnya, selain rusaknya ekosistem air,warga bantaran sungai yang menggantungkan hidupnya pada alam pun terkena dampak penurunan kualitas air seperti air tidak layak konsumsi hingga resiko kanker.
Oleh karena itu,internalisasi karakter cinta lingkungan harus bersifat holistik dengan bertumpu pada tiga kaki mulai dari Pemerintah,masyarakat yang swasta. Hal tersebut dapat dilakukan melalui optimalisasi green region yang dituangkan dalam visi dan misi daerah terutama bagaimana menyelenggarakan pembangunan daerah berwawasan lingkungan. Pemerintah harus tegas menolak kaum-kaum kapitalis yang menyelenggarakan pembangunan besar-besaran tanpa memperhatikan etika lingkungan. Pendekatan kepada masyarakat dilakukan dengan edukasi terpadu dan berkelanjutan serta menyelenggarakan program yang bernilai ekonomis bagi masyarakat.Mahasiswa dan akademisi harus mampu menciptakan role model eco-campus berbasis need analysis research. Anak-anak harus diberi keteladanan sejak dini bahwa peribahasa “bersih pangkal sehat” bukan sekedar hafalan. Kita tak butuh kurikulum lingkungan hidup untuk diintegrasikan atau disusun secara membingungkan  seperti kasus quo vadis pendidikan karakter, namun internalisasi karakter melalui keteladanan dan pembiasaan sehingga dapat mengakar kuat dalam kepribadian hingga seumur hidup mereka. Akhirnya,selamat hari Lingkungan Hidup sedunia. Cintai Lingkungan, Cintai kehidupan!

Penulis : Kalis Mardi Asih 

0 komentar: