gambar diambil dari seruu.com |
Kurang dari sepuluh tahun yang lalu,
saya masih dapat menangkap kupu-kupu yang hinggap pada bunga-bunga di taman
sekolah. Saat itu saya juga masih mengenal beberapa jenis capung yang biasa
saya tangkap dengan menggunakan lidi yang ujungnya diolesi dengan getah nangka.
Pun juga dengan hewan-hewan seperti kepik, ikan-ikan kecil di sungai,kepiting
di selokan, juga anak katak yang belum sempurna metamorfosanya. Namun hari ini,
tanpa disadari kita semua telah susah untuk menemukan kupu-kupu atau capung dan
juga hewan-hewan di atas. Ekosistem mereka telah berubah menjadi tembok
berpondasikan beton. Sungai dan selokan yang dahulu dijadikan media bermain
sekaligus belajar bagi anak-anakpun sudah semakin berkurang kualitas airnya
sehingga tidak dapat memberi kehidupan.
Menyoal tentang lingkungan hidup, secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa telah
terjadi perubahan yang cukup signifikan pasca isu pemanasan global (climate change) meluas di masyarakat
yakni kenaikan permukaan air laut, kenaikan temperatur udara, perubahan curah
hujan, dan frekuensi perubahan iklim yang ekstrem. Demikian pula, pengaruh
kombinasi peningkatan suhu rata-rata wilayah, tingkat presipitasi wilayah,
intensitas kemarau/banjir, dan akses ke air bersih, yang kemudian juga menjadi
tantangan bagi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia menurut
MP3EI (Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia).
Hari ini, 5 Juni 2012,kita kembali memperingati Hari Lingkungan Hidup
sedunia sejak tahun 1972 lalu terjadi pembukaan konferensi PBB tentang
lingkungan hidup di Stokholm atau dikenal pula sebagai Konferensi Stokholm. Perubahan
buruk yang terjadi pada lingkungan yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat
ini memang melahirkan sejumlah keprihatinan atas nasib bumi yang akan kita
wariskan pada anak cucu kita pada tahun-tahun mendatang. Sehingga, kini kita
sangat akrab dengan label “green”
pada banyak aspek seperti green bag,green economy,green building,juga green
development yang menekankan pada prinsip 3R yakni reduce,reuse dan recycle.
Kita juga mengenal banyak komunitas seperti Greeneration Indonesia, Bike to Work, Solo Berkebun, dan KOPHI
(Koalisi Pemuda Hijau Indonesia). Program-program seperti Earth Hour dan Car Free Day
pun dianggap berpotensi untuk dikembangkan di banyak kota karena perhitungan
secara kuantitatif membuktikan bahwa program tersebut memberikan pengaruh yang
besar terhadap pengurangan emisi serta penghematan enerji.
Namun apakah semua gerakan atau komunitas itu benar efektif untuk menjaga
lingkungan hidup? Dua fenomena berbeda terjadi di Jepang dan Singapura. Warga
Negara Jepang selalu membuang sampah pada tempatnya di belahan bumi manapun
mereka berada. Sedangkan warga Negara Singapura, walaupun mereka selalu
membuang sampah pada tempatnya ketika berada di Negara Singapura, namun mereka
tetap membuang sampah sembarangan ketika mereka berada di Batam. Hal berbeda
tersebut terjadi karena di Jepang, karakter cinta lingkungan memang
diinternalisasikan sejak kecil pada tiap-tiap warga Negara. Sedangkan di
Singapura, pola cinta lingkungan tersebut diterapkan melalui sistem sangsi.
Alhasil,ketika mereka tidak lagi berada dalam sistem,merekapun tempat membuang
sampah sembarangan.
Hal serupa mungkin akan kita temui di Indonesia. Dahulu,SMA saya
menerapkan sistem larangan membawa motor bagi siswa yang memiliki jarak rumah
kurang dari 2,5 kilometer dari sekolah. Namun,siswa-siswa yang terikat aturan
tersebut akhirnya justru tetap membawa motor dengan menyewa lahan parkir swasta
di dekat sekolah. Pada Car free day
Slamet Riyadi Solo misalnya, kita juga melihat tetap ada para pengendara motor
yang memaksa lewat pada area bebas motor. Selepas itu,car free day yang ditutup pada jam sepuluh pagi menyisakan sampah
disana-sini. Terlihat aneh, kita seakan sudah tidak dapat diatur lagi dengan
peraturan yang bersifat top down.
Internalisasi karakter cinta lingkungan di Jepang terbukti efektif, namun hal
tersebut juga tidak serta merta terbentuk. Sehingga kolaborasi sistem top down yang bersumber regulasi atau
kebijakan dari birokrasi dan bottom up yang
bersumber dari kesadaran pribadi menjadi solusi yang harus segera
diimplementasikan di Indonesia.
Di Kota Depok,Jawa Barat,terdapat Poklili (Kelompok Peduli Lingkungan)
yang diinisiasi oleh sebuah komunitas ibu rumah tangga. Para warga setia
mengumpulkan sampah pribadi dan rumah tangga mereka karena memberikan nilai
ekonomis. Program tersebut bernama arisan sampah, dimana sampah rumah tangga
mereka dikumpulkan ke rumah penampung dan dapat diuangkan setelah ditimbang.
Sampah-sampah tersebut kemudian dipisahkan antara sampah organik dan sampah non
organik. Selanjutnya terdapat program pemberdayaan masyarakat berupa pembuatan
pupuk kompos dan kerajinan tangan yang sebagian besar berbahan dasar sampah
plastik. Program Poklili tersebut merupakan contoh kolaborasi strategi top down dan bottom up yang berhasil. Walaupun awalnya masyarakat melakukan hal
tersebut hanya untuk mengejar keuntungan ekonomis, namun akhirnya mereka paham
akan keuntungan memiliki lingkungan hidup yang bersih melalui edukasi yang
secara rutin diberikan dengan pendekatan yang tepat.
Transformasi dari era agraris kepada era industrialisasi dan konsumsi
massa sekarang ini juga membawa masalah pelik bagi Indonesia. Kita seringkali
melihat fenomena lahan pertanian yang berubah menjadi industri batu bata sewaan.
Hal tersebut didasari oleh abnormalisasi yang dilakukan kaum neoliberalis
sehingga masyarakat petani berpikir bahwa bertani itu tidak ada untungnya.
Mereka menyewakan lahan bertani mereka untuk mendapatkan uang instan. Lahan
mereka digali hingga kedalamannya berkurang mencapai tigameter. Setelah waktu
kontrak habis, para petani dirugikan karena lapisan tanah yang subur untuk
bertani telah hilang digali. Mereka lalu diberi solusi untuk menggunakan pupuk
buatan dalam dosis yang besar, bibit-bibit belian yang juga bersumber dari kaum
neolib.
Yang lebih parah lagi kita lihat bahwa lahan-lahan pertanian yang tidak
hanya dikontrakkan, namun dibeli untuk pendirian bangunan-bangunan besar atau
mal. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem
kita sehingga timbul bencana banjir karena kurangnya tanah resapan saja namun
bencana lanjutan bagi warga yang ditipu dengan uang instan. Mereka kemudian
diberi pekerjaan sebagai buruh-buruh mal dengan sistem kontrak kemudian
kehilangan pekerjaan ketika kontrak mereka habis. Uang instan yang didapat pun
telah habis digunakan untuk kebutuhan hidup dalam waktu yang relatif singkat.
Perubahan UUD 1945 setelah amandemen yang menambahkan kalimat “dikelola
secara efektif dan efisien” yang menyambung kalimat “Bumi,air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat” menyebabkan kebijakan-kebijakan Pemerintah tidak berpihak pada
lingkungan hidup dikarenakan semakin menguatnya multinational corporation yang hanya menyisakan perburuhan serta
limbah industri yang dialirkan begitu saja ke sungai-sungai. Akibatnya, selain
rusaknya ekosistem air,warga bantaran sungai yang menggantungkan hidupnya pada
alam pun terkena dampak penurunan kualitas air seperti air tidak layak konsumsi
hingga resiko kanker.
Oleh karena itu,internalisasi karakter cinta lingkungan harus bersifat
holistik dengan bertumpu pada tiga kaki mulai dari Pemerintah,masyarakat yang
swasta. Hal tersebut dapat dilakukan melalui optimalisasi green region yang dituangkan dalam visi dan misi daerah terutama
bagaimana menyelenggarakan pembangunan daerah berwawasan lingkungan. Pemerintah
harus tegas menolak kaum-kaum kapitalis yang menyelenggarakan pembangunan
besar-besaran tanpa memperhatikan etika lingkungan. Pendekatan kepada
masyarakat dilakukan dengan edukasi terpadu dan berkelanjutan serta
menyelenggarakan program yang bernilai ekonomis bagi masyarakat.Mahasiswa dan
akademisi harus mampu menciptakan role
model eco-campus berbasis need
analysis research. Anak-anak
harus diberi keteladanan sejak dini bahwa peribahasa “bersih pangkal sehat”
bukan sekedar hafalan. Kita tak butuh kurikulum lingkungan hidup untuk
diintegrasikan atau disusun secara membingungkan seperti kasus quo vadis pendidikan karakter,
namun internalisasi karakter melalui keteladanan dan pembiasaan sehingga dapat
mengakar kuat dalam kepribadian hingga seumur hidup mereka. Akhirnya,selamat
hari Lingkungan Hidup sedunia. Cintai Lingkungan, Cintai kehidupan!
Penulis : Kalis Mardi Asih
0 komentar:
Posting Komentar