gambar diambil dari satunews.com |
Rasa-rasanya,kita
terpaksa harus bertanya kembali tentang siapa sebenarnya yang memikul tanggung
jawab sektor Pendidikan di negeri ini. Biasanya,jawaban teoritis akan selalu
mengarah pada institusi pendidikan bersama perangkat fasilitas serta kualitas
guru yang menjadi ujung tombaknya. Selama ini kita hanya sering mendengar
berita tentang oknum-oknum pendidik amoral yang mengajarkan siswanya untuk
menyontek saat Ujian Nasional (UN) hingga sertifikasi guru yang tidak murni
untuk mengejar standarisasi mutu melainkan kebutuhan akan peningkatan gaji
belaka. Namun,apakah benar kebobrokan pendidikan kita hanya disebabkan oleh
asumsi terhadap rendahnya kualitas institusi pendidikan sebagai lembaga
pelaksana Kegiatan Belajar Mengajar?
Bersama
Komunitas Education For Indonesia,
beberapa waktu lalu saya melakukan survey di SDN Temuireng 2 Blora. Kebetulan
sekolah tersebut membuat kami penasaran karena sempat menjadi liputan utama di
sebuah stasiun TV karena kondisinya yang teramat memprihatinkan.
Hasilnya,ketika sampai di lapangan kita mendapati kondisi yang lebih buruk.
Tampakan sekolah kandang ayam yang beralaskan tanah, dinding kayu kas,kelas
yang hanya dipisahkan oleh sekat kayu, serta tidak terdapatnya alat-alat
olahraga maupun alat penunjang pembelajaran seperti globe. Bahkan sekolah ini
tidak memiliki ruang Tata Usaha, perangkat komputer maupun kamar mandi.
Walaupun begitu, bicara soal prestasi,siswa di SD ini selalu mendapat peringkat
pertama pada Ujian Nasional se-Kecamatan.
Kesimpulan
membawa kami pada fakta ternyata bukan soal institusi pendidikan. Faktanya
sekolah kandang ayam dengan 4 guru yang 3 gurunya merupakan Guru Tidak Tetap (GTT)
dengan gaji jauh dari layak selama bertahun-tahun pun tetap melaksanakan tugas
dengan ikhlas bakti. Lagi-lagi, birokrasi kita yang menjadi tersangkanya. Dana
untuk perbaikan gedung dan fasilitas sekolah bukannya tidak ada. Namun, Dinas
Pendidikan selama ini terlalu sering menggunakan teknik pilih-pilih. Sekolah
yang mendapatkan dana bantuan adalah sekolah yang letaknya di kota.
Alasannya,selain kinerja birokrasi akan lebih terlihat oleh masyarakat juga
karena biaya pengeluaran akan dapat semakin ditekan. Sisanya, tentu saja
membawa kita pada asumsi bagi-bagi sisa anggaran. Itulah sebabnya ketika “orang
kota” melakukan perjalanan ke suatu daerah terpencil, logika mereka tidak dapat
percaya melihat kondisi sekolah yang memprihatinkan di tengah isu kejar standarisasi
pendidikan lewat RSBI atau sekolah-sekolah swasta yang rajin membeli kurikulum
luar negeri.
Menyoal dana
Bantuan Operasional Sekolah pun jumlahnya seringkali juga tidak adil. Bagi saya
yang kuliah di FKIP, dana pendidikan masing-masing sekolah seharusnya relatif
sama karena kebutuhan pembiayaan pendidikan tidak bisa dibeda-bedakan
berdasarkan jumlah siswa,jumlah guru bahkan kualitas mereka. Persoalan jumlah
seharusnya hanya membedakan pada pemenuhan jumlah fasilitas terhitung,contohnya
: buku. Itupun, biasanya Diknas masih memberikan daftar buku wajib beli ke
sekolah. Belum lagi,kondisi sekolah di pedesaan dengan sosiologi masyarakat
yang miskin membuat mereka tidak tega untuk memungut dana pribadi dari orangtua
siswa untuk urusan pemenuhan kebutuhan fasilitas. Berbeda dengan orangtua siswa
daerah perkotaan yang relatif “nyah-nyoh”
ketika dimintai dana yang dinamai iuran pengembangan fasilitas.
Konstitusi
yang menjadi penyangga Pendidikan yakni UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional sayangnya justru memuat nilai privatisasi antara lain pada
Pasal 46, 50,51 dan 53 ayat 1. Pasal-pasal tersebut menjadi pembenaran untuk
Pemerintah lepas tangan terhadap tanggung jawab pembiayaan pendidikan. Sebagai
calon pendidik,saya tentu tidak rela ketika kelak sekolah berubah menjadi
institusi bisnis yang memenuhi kebutuhannya lewat hal-hal transaksional yang
diluar logika “institusi terpuji”. Sebab,pendidikan yang memarjinalkan generasi
yang terpaksa lahir di tengah kondisi miskin nantinya akan membawa kondisi Negara ini pada kesenjangan sosial yang lebih
curam lagi.
Teringat pada
pejabat di SDN Temuireng 2 Blora yang mengatakan bosan untuk memperjuangkan
keadilan pada Pemerintah,saya rasa tak ada salahnya kita kembali berteriak
lantang pada Pemerintah untuk sedikit waras dalam menghasilkan
kebijakan-kebijakan pendidikan. Masyarakat juga harus berpartisipasi aktif
memberi dukungan pada pendidikan dengan bijaksana dalam memilih. Tidak hanya
sekedar memilih sekolah yang memiliki kemilau fasilitas namun mengembalikan
pendidikan pada esensinya untuk menciptakan manusia seutuhnya seperti pesan
Bapak Pendidikan kita. Selain itu,jangan sungkan untuk melakukan penyelidikan
ketika melihat kondisi pendidikan yang jauh dari layak karena setiap instistusi
sebenarnya memiliki jatah pembiayaan untuk meningkatkan kualitasnya.
Selama
ini,perubahan selalu terlahir dari orang-orang yang memiliki kepedulian. Tafsir
peduli diharapkan bukan hanya dengan aktif memberikan bantuan yang bersumber
dari dana pribadi tetapi sikap kritis terhadap penyimpangan yang terjadi
kemudian berkolaborasi bersama masyarakat serta institusi terkait untuk
mengembalikan pada porsi yang seharusnya. Cukup sudah kita mendengar konspirasi
dana wisma atlit,hambalang maupun kelakuan bejat para wakil rakyat. Jika hanya
dunia pendidikan tempat kita menaruh harapan akan lahirnya generasi
terpuji,apakah kita tega membiarkan Sistem dan kebijakan dunia pendidikan kita
ikut-ikutan menjadi amoral?
* Penulis : Kalis Mardi Asih
0 komentar:
Posting Komentar