gambar diambil dari radarnusantara.com |
Dengan
adanya kebijakan ini, para hakim
tentunya boleh sedikit bernafas lega mengenai kesejahteraan dirinya dan
keluarganya. Isu mogok sidang menuntut kesejahteraan yang mengemuka beberapa
waktu lalu, akhirnya berbuah manis dengan adanya kenaikan gaji. Yang menjadi
pertanyaan, setelah ada kenaikan gaji, apa yang bisa diberikan oleh para hakim
untuk negara ini?
Sebagai
aktor utama peradilan, hakim berada dalam posisi yang strategis. Melalui ketuk
palunya, seorang hakim dapat menentukan nasib seseorang atau pun badan hukum.
Mulai dari mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga
negara, membubarkan badan hukum dan bahkan menghilangkan hak hidup seseorang
bisa dilakukan oleh hakim. Menjadi seorang hakim sungguh tidak lah mudah. Profesi ini bisa menjadi ladang amal menuju
surga jika dijalankan dengan amanah, namun akan berujung dosa dan neraka bila
dijalankan dengan tidak amanah. Istilah yang populer, posisi hakim berada
diantara surga dan neraka.
Kewenangan
hakim yang sangat besar menuntut tanggung jawab yang ekstra besar pula. Ada
analogi ekstrim yang mengatakan bahwa hakim adalah representasi Tuhan di dunia
ini. Oleh karena itu, mengutip pendapat Chatamarrasjid Ais, setiap putusan yang
dibuat oleh hakim dibuka dengan kalimat “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Kalimat tersebut
mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan
secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal
dipertanggungkajawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan
peningkatan gaji hakim tentunya kita berharap bahwa tujuan hukum dapat
tercapai. Tujuan hukum ada 3 : keadilan, kemanfaatkan, dan kepastian hukum.
Nilai keadilan lah yang mempunyai derajat tertinggi sekaligus terasa sangat
sulit untuk dicapai. Oleh karenanya, keadilan ditempatkan sebagai tujuan hukum
yang hakiki.
Mekanisme panjang
Harus kita
akui, proses menuju keadilan sangat lah panjang. Sebagai contoh, untuk kasus
pidana, mekanisme yang ditempuh berawal dari tindakan polisional dari
kepolisian berlanjut ke kejaksaan lalu baru masuk ke meja hakim (baru tingkat
pertama). Setelah itu, dimungkinkan lagi bagi pihak yang tidak merasa puas
untuk mengajukan banding di pengadilan tinggi (PT). Kalau masih tidak puas lagi
dengan keputusan hakim (PT) masih dimungkinkan lagi untuk melakukan kasasi ke
Mahkamah Agung, baru setelah putusan MA kasus dapat dikatakan berkekuatan hukum
tetap. Namun putusan MA bukan lah akhir dari segalanya, jika ditemukan bukti
baru (novum) maka persidangan dapat dimulai dari awal lagi (tingkat pertama).
Proses yang sangat panjang bukan? Namun, melalui proses yang panjang ini lah
belum tentu berujung pada keadilan.
Dari mekanisme
berhukum yang panjang, secara obyektif kita harus mengatakan bahwa beban
mewujudkan keadilan tentunya tidak bisa dilimpahkan dipundak hakim semata. Ada
pendapat menarik dari filsuf Taverne: ”beri aku seorang jaksa yang jujur dan
cerdas, beri aku seorang hakim yang jujur dan cerdas, dengan undang-undang yang
paling buruk sekalipun, aku akan menghasilkan putusan yang adil”. Tanggung
jawab mewujudkan keadilan berada di pundak para aparatur pengadilan dan para
profesionalisme hukum beserta komitmen dari aparatur pengadilan, profesional
hukum, beserta perilaku berhukum masyarakat untuk berhukum secara baik.
teks hukum yang kaku
Selain
proses berhukum yang panjang,proses menuju keadilan juga harus berhadapan
dengan teks hukum yang kaku. Masih ingat dengan kasus pencurian sendal oleh
AAL, pencurian kakao oleh nenek Minah? Kasus-kasus tersebut adalah konsekuensi
yang harus dibayar jika menerapkan hukum secara tekstual.
Baru-baru ini
ada putusan hakim yang kontrovesial. Ada ada Putusan Mahkamah Agung Nomor:
2031. K/Pid.Sus/2011 atas nama Agus Siyadi, yang menyatakan bahwa Agus Siyadi
dinyatakan pengadilan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena
melakukan korupsi namun tidak dijatuhi
hukuman. Banyak yang menilai putusan kasasi ini terkesan memberi angin
segar terhadap para pelaku korupsi. Apalagi, ada alasan hakim di tingkat kasasi
yang mempertimbangkan bahwa kerugian negara yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan oleh terdakwa relatif sedikit yaitu Rp. 5.795.000,00
kiranya dalam putusan pidananya perlu ditinjau dan dipertimbangkan.
Menurut saya,
dalam kasus Agus Siyadi, hakim di tingkat kasasi tidak lah salah. Pada tingat
kasasi, pengadilan tidak melihat dan membicarakan fakta. Yang dilakukan adalah
memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh pengadilan di tingkat
bawah. Nah, hakim tingkat kasasi untuk Agus Siyadi “hanya“ tidak menerapkan hukum secara progresif. Beliau terbelenggu oleh
hukum yang kaku.
Disaat seperti
ini saya merindukan Alm.Bismar Siregar, seorang hakim yang berani berpikir out of the box. Seorang hakim yang
berani mematahkan kekakuan teks hukum dengan memakai hati nurani. Toh, hukum itu untuk manusia, bukan
manusia untuk hukum. Bukankah begitu?
Tentang hukum
yang kaku, saya jadi teringat tulisan Alm.Prof Tjip dalam buku berjudul
Penegakan hukum Progresif. Beliau
menuliskan bahwa “Salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam
kekakuannya (lex dura sed tamen scripta, hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah
sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis,
perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai dokumen tertulis.
Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian
keadilan, sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks,
dan lain-lain” (Satjipto Rahardjo, 2010:9)
Terlepas dari
prosedur yang panjang dan hukum yang kaku. Perjalanan mewujudkan tujuan hukum
yang hakiki harus terus dilakukan. Langkah peningkatan kesejahteraan bagi hakim
harus diapresiasi. Paling tidak, masyarakat mendapat secerca harapan akan ada
suatu kemungkinan bahwa keadilan bisa tercapai di negeri ini. Amin!
* Penulis : Agung Pambudi
0 komentar:
Posting Komentar