Jalan Panjang Hukum Menuju Keadilan*(Dimuat dalam Gagasan Solopos 3 Juli 2012)

on Kamis, 06 September 2012

gambar diambil dari radarnusantara.com
Gaji hakim (akhirnya) mengalami kenaikan. Melalui Kesepakatan yang dihasilkan dalam pertemuan pimpinan lima institusi, yaitu Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Komisi Yudisial (KY) dan Kementerian Sekretariat Negara memutuskan untuk menaikkan gaji hakim. Kelima institusi tersebut akhirnya menyepakati besaran gaji hakim dengan masa kerja nol tahun adalah Rp10,6 juta. Nominal itu akan meningkat sesuai dengan meningkatnya pangkat dan golongan hakim.

                Dengan adanya kebijakan ini, para hakim  tentunya boleh sedikit bernafas lega mengenai kesejahteraan dirinya dan keluarganya. Isu mogok sidang menuntut kesejahteraan yang mengemuka beberapa waktu lalu, akhirnya berbuah manis dengan adanya kenaikan gaji. Yang menjadi pertanyaan, setelah ada kenaikan gaji, apa yang bisa diberikan oleh para hakim untuk negara ini?
                Sebagai aktor utama peradilan, hakim berada dalam posisi yang strategis. Melalui ketuk palunya, seorang hakim dapat menentukan nasib seseorang atau pun badan hukum. Mulai dari mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, membubarkan badan hukum dan bahkan menghilangkan hak hidup seseorang bisa dilakukan oleh hakim. Menjadi seorang hakim sungguh tidak lah mudah.  Profesi ini bisa menjadi ladang amal menuju surga jika dijalankan dengan amanah, namun akan berujung dosa dan neraka bila dijalankan dengan tidak amanah. Istilah yang populer, posisi hakim berada diantara surga dan neraka.
Kewenangan hakim yang sangat besar menuntut tanggung jawab yang ekstra besar pula. Ada analogi ekstrim yang mengatakan bahwa hakim adalah representasi Tuhan di dunia ini. Oleh karena itu, mengutip pendapat Chatamarrasjid Ais, setiap putusan yang dibuat oleh hakim dibuka dengan kalimat “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Kalimat tersebut mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungkajawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan peningkatan gaji hakim tentunya kita berharap bahwa tujuan hukum dapat tercapai. Tujuan hukum ada 3 : keadilan, kemanfaatkan, dan kepastian hukum. Nilai keadilan lah yang mempunyai derajat tertinggi sekaligus terasa sangat sulit untuk dicapai. Oleh karenanya, keadilan ditempatkan sebagai tujuan hukum yang hakiki.
Mekanisme panjang
Harus kita akui, proses menuju keadilan sangat lah panjang. Sebagai contoh, untuk kasus pidana, mekanisme yang ditempuh berawal dari tindakan polisional dari kepolisian berlanjut ke kejaksaan lalu baru masuk ke meja hakim (baru tingkat pertama). Setelah itu, dimungkinkan lagi bagi pihak yang tidak merasa puas untuk mengajukan banding di pengadilan tinggi (PT). Kalau masih tidak puas lagi dengan keputusan hakim (PT) masih dimungkinkan lagi untuk melakukan kasasi ke Mahkamah Agung, baru setelah putusan MA kasus dapat dikatakan berkekuatan hukum tetap. Namun putusan MA bukan lah akhir dari segalanya, jika ditemukan bukti baru (novum) maka persidangan dapat dimulai dari awal lagi (tingkat pertama). Proses yang sangat panjang bukan? Namun, melalui proses yang panjang ini lah belum tentu berujung pada keadilan.
Dari mekanisme berhukum yang panjang, secara obyektif kita harus mengatakan bahwa beban mewujudkan keadilan tentunya tidak bisa dilimpahkan dipundak hakim semata. Ada pendapat menarik dari filsuf Taverne: ”beri aku seorang jaksa yang jujur dan cerdas, beri aku seorang hakim yang jujur dan cerdas, dengan undang-undang yang paling buruk sekalipun, aku akan menghasilkan putusan yang adil”. Tanggung jawab mewujudkan keadilan berada di pundak para aparatur pengadilan dan para profesionalisme hukum beserta komitmen dari aparatur pengadilan, profesional hukum, beserta perilaku berhukum masyarakat untuk berhukum secara baik.
teks hukum yang kaku
                Selain proses berhukum yang panjang,proses menuju keadilan juga harus berhadapan dengan teks hukum yang kaku. Masih ingat dengan kasus pencurian sendal oleh AAL, pencurian kakao oleh nenek Minah? Kasus-kasus tersebut adalah konsekuensi yang harus dibayar jika menerapkan hukum secara tekstual.
Baru-baru ini ada putusan hakim yang kontrovesial. Ada ada Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2031. K/Pid.Sus/2011 atas nama Agus Siyadi, yang menyatakan bahwa Agus Siyadi dinyatakan pengadilan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena melakukan korupsi namun tidak dijatuhi hukuman. Banyak yang menilai putusan kasasi ini terkesan memberi angin segar terhadap para pelaku korupsi. Apalagi, ada alasan hakim di tingkat kasasi yang mempertimbangkan bahwa kerugian negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh terdakwa relatif sedikit yaitu Rp. 5.795.000,00 kiranya dalam putusan pidananya perlu ditinjau dan dipertimbangkan.
Menurut saya, dalam kasus Agus Siyadi, hakim di tingkat kasasi tidak lah salah. Pada tingat kasasi, pengadilan tidak melihat dan membicarakan fakta. Yang dilakukan adalah memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh pengadilan di tingkat bawah. Nah, hakim tingkat kasasi untuk Agus Siyadi “hanya“ tidak menerapkan hukum secara progresif. Beliau terbelenggu oleh hukum yang kaku.
Disaat seperti ini saya merindukan Alm.Bismar Siregar, seorang hakim yang berani berpikir out of the box. Seorang hakim yang berani mematahkan kekakuan teks hukum dengan memakai hati nurani. Toh, hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Bukankah begitu?
Tentang hukum yang kaku, saya jadi teringat tulisan Alm.Prof Tjip dalam buku berjudul Penegakan hukum Progresif.  Beliau menuliskan bahwa “Salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya (lex dura sed tamen scripta, hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai dokumen tertulis. Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian keadilan, sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks, dan lain-lain” (Satjipto Rahardjo, 2010:9)
Terlepas dari prosedur yang panjang dan hukum yang kaku. Perjalanan mewujudkan tujuan hukum yang hakiki harus terus dilakukan. Langkah peningkatan kesejahteraan bagi hakim harus diapresiasi. Paling tidak, masyarakat mendapat secerca harapan akan ada suatu kemungkinan bahwa keadilan bisa tercapai di negeri ini. Amin! 

* Penulis : Agung Pambudi

0 komentar: