gambar diambil dari lensaindonesia.com |
Oleh Widodo Ekatjahjana dalam Jurnal
Konstitusi Volume 7 Nomor 5, Oktober 2010, Sengketa TUN merupakan sengketa
hukum publik, maka putusan hakim PTUN pada dasarnya merupakan putusan yang
memiliki sifat atau karakter hukum publik. Sifat atau karakter hukum publik
pada putusan hakim PTUN inilah yang menyebabkan putusan hakim PTUN itu, tidak
hanya berlaku dan mengikat pihak-pihak yang berperkara saja. Putusan hakim PTUN
harus bersifat erga omnes – putusan hakim PTUN mengikat semua pihak, termasuk pihak-pihak
yang tidak berperkara sekalipun. Dengan demikian pencabutan SK Menkum HAM Nomor
M.HH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 tentang pengetatan remisi terhadap
narapidana tindak pidana luar biasa korupsi berlaku juga bagi semua pihak
(koruptor yang tak ikut menggugat juga tidak dikenai SK Menkum HAM tersebut).
Hal ini jelas merupakan tamparan keras
bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya kasus korupsi. Jika diturut ke
belakang, pemberian remisi sebenarnya adalah hak narapidana. Diatur didalam UU
No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa salah satu hak narapidana adalah
mendapatkan remisi. Diatur lebih lanjut bahwa seorang napi jika berkelakuan
baik selama dipenjara dan sudah menjalani hukuman selama enam bulan bisa
diberikan remisi terhadapnya.
Namun, untuk kasus korupsi diberi
perlakuan khusus. Narapidana korupsi tunduk pada PP No 28 Tahun 2006 tentang
Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bahwa remisi
baru dapat dilakukan jika narapidan telah menjalani hukuman selama 1/3 masa
tahanan.
Dalam
bingkai hukum, SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 adalah sebuah bentuk terobosan hukum di
Indonesia. Bentuk keluarbiasaan SK ini adalah berlaku surut. Sehingga banyak
terpidana kasus korupsi “batal bebas” melalui pembebasan bersyarat. Sebut saja
Ahmad Hafiz Zawai, BobbySuhardiman, Hengky Baramuli, Hesti Andi Tjahyanto, Agus
Wijanto Legowo, Mulyono Subroto, H.Ibrahim, SH. Ketujuh orang tersebut “batal
bebas” karena terbitnya SK Menkum HAM tentang pembatalan pembebasan bersyarat.
Yang menarik, ditangan ketujuh orang tersebut pula lah SK Menkum HAM tentang pembatalan
pembebasan bersyarat di kebiri melalui pengadilan PTUN Jakarta. Per tanggal 7
Maret 2012, SK Menkum HAM tersebut
dicabut. Sehingga pembebasan bersyarat kembali diberlakukan
Sejak awal terbitnya SK Menkum HAM telah
menuai pro dan konntra. Legal standing
SK ini banyak dipertanyakan. Bisa dikatakan bahwa SK ini adalah kontroversial.
SK kontroversial ini dikeluarkan Menkum Ham saat dikomandoi Amir Syamsudin,
politisi Demokrat. SK kontroversial ini sangat mendapat reaksi positif dari masyarakat.
Bisa dikatakan SK ini adalah kebijakan populer.
Akan tetapi tanpa disadari, di dalam SK Menkum
HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 secara otomatis merampas hak-hak warga negara
yang lain. Hak seorang narapidana untuk mendapatkan remisi telah dijamin oleh
undang-undang. Akan tetapi oleh SK Menkum HAM tersebut, hak narapidana untuk
mendapatkan remisi telah dihilangkan. Secara otomatis, muncul ketidakteraturan
dalam hukum.
Secara hierarki peraturan, SK Menkumham berada
dibawah undang-undang. Jadi, segala pokok materi yang tercantum di SK Menkum
HAM seharusnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. SK Menkum HAM
yang ditetapkan dan dijalankan adalah bentuk pemaksaan kehendak dari penguasa
tanpa mendasarkan dasar hukum yang jelas. Kita harus sepakat bahwa suatu
peraturan-apapun bentuknya- tidak bisa dibuat tanpa adanya dasar hukum yang
kuat.
Kepopuleran kasus korupsi memang
seharusnya harus diikuti dengan aturan hukum yang populer juga. Namun bukan
berarti harus melanggar prosedur yang ada. Memang, dunia hukum adalah dunia
yang penuh dengan prosedur. Namun, prosedur yang ada, dibuat untuk menjamin
tidak ada pihak yang dirugikan akibat munculnya hukum. Kalau sampai ada pihak
yang dirugikan akibat munculnya hukum. Maka tujuan hukum mengenai keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum tidak dapat tercapai. Dengan adanya prosedur yang jelas,
bertujuan dapat mewujudkan ketertiban dalam hukum.
Munculnya
SK Menkum HAM justru secara otomatis akan mereduksi ketertiban dalam hukum.
Karena SK Menkum HAM berproses tidak secara tertib!
Menurut alm Prof.Tijp, hukum dan
ketidaktertiban itu tidak saling meniadakan begitu saja melainkan kita harus
mengakui bahwa masyarakat itu menerima suatu margin of tolerance atau leeways
dalam penegakan hukum. Artinya, penegakan hukum “berkompromi” dengan keadaan
tidak tertib di masyarakat. Itu berarti, dalam keadaan tidak-tertib hukum juga
dapat bekerja, seperti juga dalam “keadaan tidak tertib” hukum itujuga tetap
bekerja.
Ketidaktertiban SK Menkum HAM dalam
dimensi hukum di Indonesia nyatanya telah mampu bekerja, meskipun hanya dalam
hitungan bulan (mulai dari 16 November 2012 sampai 7 Maret 2012). Dengan
demikian sudah terbukti bahwa hukum yang tidak tertib pasti dapat dengan mudah
dipatahkan. Tujuan untuk mewujudkan suatu ketertiban oleh hukum tidak bisa
dilakukan diatas ketidaktertiban dari hukum itu sendiri. Prosedural dalam
berhukum menjadi sangat penting di sisi ini!
Langkah pengetatan remisi oleh Menkum
HAM harus diapresiasi tinggi. Bagaimana pun juga, kebijakan Menkum HAM mengenai
penghentian remisi adalah keputusan yang berani. Niatan untuk “memberi
pelajaran” kepada para koruptor adalah langkah yang sensasional. Akan tetapi
bakal lebih elegan lagi jika diwujudkan dalam bentuk peraturan yang berproses
berdasar peraturan yang berlaku.
Kita tentunya sangat sepakat jika
korupsi harus hancur di negara ini dan para koruptor dikebiri dari bumi
Indonesia. Akan tetapi kita tidak bisa melupakan aturan dan prosedur yang ada.
Jangan sampai kita menegakkan hukum dengan melanggar hukum itu sendiri. Gagasan
untuk mengetatkan remisi bagi para koruptor harus segera ditindak lanjuti oleh
pihak terkait. DPR, pemerintah, masyarakat harus mendorong kosep pengetatan
remisi ini menjadi peraturan yang berdasar hukum kuat. Jangan samapai, gagasan
pengetatan remisi bagi para koruptor hanya sampai di ketuk palu hakim PTUN saja!
* Ditulis oleh Agung Pambudi
0 komentar:
Posting Komentar