Kota Surakarta tengah berbenah diri baik
secara kasat mata pembangunan dan pemerataan pelayanannya. Telah banyak layanan
publik yang kita rasakan hasil pembangunan Kota Surakarta dewasa ini. Layanan
transportasi modern, taman kota yang semakin menjamur, dan penyediaan ruang srawung warga seperti city walk dan area car free day dan serentetat event
kota kita rasakan.
Branding
image tengah dikejar sebagai upaya promosi
pariwisata kota. Selain itu, arah ke depan dari Kota Surakarta adalah menjadi
kota MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) sehingga garis lurusnya perlu penyediaan
sarana publik humanis. Selain
masalah moda trasnportasi humanis dan pengembangan kawasan pedestrian maka hal
terpenting yang seharusnya sudah terjamin yaitu ketersediaan toilet publik yang
syarat dengan kenyamanan. Kota ini memang dapat kita akui masih kurang secara
kuantitas dan kualitasnya dalam penyediaan toilet publik. Nyatanya toilet
publik merupakan satu hal yang sangat vital dibutuhkan namun acapkali
terlupakan.
Tahun ini (2012) Pemerintah Kota
Surakarta mengadakan Lomba Desain Toilet Publik dengan tema Solo Eco Cultural City ‘Unik, Portabel dan
Fungsional’ dengan titik lokasi ruang terbuka seperti yang ditentukan dalam
lomba yaitu Ngarsopura, Galabo, Taman Kota Monumen 45 banjarsari dan area city walk. Lomba desain toilet publik yang diadakan oleh Pemerintah Kota Surakarta
kali ini lebih cenderung menitikberatkan pada aspek eco cultural. Di
tengah gencarnya arus pemanasan global, saat ini telah banyak kita jumpai
konsep dengan sebutan eco di awal kalimatnya, eco cultural merupakan
konsep pengembangan kota yang menggabungkan nuansa budaya yang ramah
lingkungan. Hal tersebut dirasa tepat sekali diterapkan dalam pembangunan tata
ruang Kota Surakarta yang memiliki Tri Krida Utama Kota Surakarta, yaitu
sebagai kota budaya, kota pariwisata, dan kota olah raga dimana dalam
pelaksanaannya ditunjang dengan program Solo ‘Berseri’ (Bersih Sehat Rapi
Indah) dan slogannya Solo The Spirit of
Java.
Untuk suksesnya penyelamatan lingkungan
hidup di wilayah kita perlu dilakukan oleh masyarakat (organisasi dan individu)
maupun pemerintah itu sendiri dengan pelibatan antar departemen teknis. Lomba
Desain Toilet Publik di Kota Surakarta lewat Dinas Tata Ruang Kota telah mampu
menjembatani antara pemerintah dan masyarakat dalam sinergi dan membentuk
jaringan kerja. Lewat hal ini akan membumikan gaya hidup masyarakat yang mampu
turut untuk menjaga keseimbangan dan keamanan ekologi, sehingga tercipta sistem
kehidupan yang sehat.
Harapannya keluaran dari event lomba ini adalah pengadaan toilet
publik health and green life yang mampu mendukung upaya mengurangi
pencemaran lingkungan dan menciptakan sanitasi yang baik. Adanya toilet ini
mampu menghindari kebiasan buruk masyarakat kita yang terkadang buang air kecil
(urinate) sembarangan
di ruang terbuka. Adakah yang kemudian menjadi terlupakan dalam
penyediaan sarana publik satu ini?
Responsif Gender
Kebijakan publik seharusnya dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat sasaran. Pembangunan sarana umum yang satu ini
akan menjadi kurang jika hanya memperhatikan aspek kebudayaan dan lingkungan.
Aksesbilitas dari semua pihak dapat menjadi pertimbangan berikutnya. Aspek
responsif gender sering kali terlupakan meski telah ada amanat pengarusutamaan
gender.
Menyoal gender tidak berarti kita sedang
membahas mengenai perempuan dan memperjuangkan kaum perempuan. Gender tidak semata-mata antara laki-laki dengan
perempuan saja, tetapi juga laki-laki dan perempuan menyangkut
anak-anak
di bawah umur, kemudian orang-orang lanjut usia atau
kelompok orang-orang yang mempunyai kebiasaan
yang
berbeda, difabel dan juga orang-orang yang mempunyai tingkat
ekonomi
yang kurang mampu. Responsif gender sendiri berarti
memperhatikan kebutuhan setiap kelompok, kebijakan responsif gender merupakan
alat untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Adil yang berarti sesuai
kebutuhan masing-masing kelompok.
Implementasi kebijakan responsif gender
dari segi bangunan salah satunya dapat kita implementasikan dalam pengadaan
toilet publik responsif gender, dimana hal kecil pertama yang secara riil dapat
diimplementasikan yaitu dengan menempatkan toilet perempuan dan laki-laki yang
terpisah. Karya lomba yang dipamerkan di Balai Soejatmoko Surakarta telah
berhasil menawarkan konsep yang mengedepankan aspek budaya dan lingkungan.
Namun, beberapa diantaranya ada yang belum memperhatikan persoalan responsif
gender, dengan membuat satu ruang toilet saja untuk laki-laki dan perempuan. Pengadaan
toilet untuk perempuan yang lebih banyak secara kuantitas menjadi titik poin
berikutnya bagi toilet yang responsif gender, dimana kebutuhan laki-laki dan
perempuan memang berbeda. Missal, perempuan yang mengalami masa haid, maka mereka akan membutuhkan waktu
yang lebih lama di dalam toilet, pengadaan kuantitas kamar toilet perempuan
yang lebih banyak bertujuan untuk mengatasi jumlah antrian di luar.
Fasilitas toilet publik memang merupakan
fasilitas yang dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan membuang hajat yang
digunakan oleh masyarakat umum tanpa membedakan usia, jenis kelamin dari
pengguna tersebut. Melihat dari kaca mata gender yang merupakan hasil
konstruksi sosial, definisi fasilitas toilet publik yang demikian dapat saja perlu
didefinisikan ulang. Secara kebutuhan ada perbedaan dalam penggunaan toilet
antara laki-laki, perempuan, kaum difabel, anak kecil dan geriatri sehingga
pembangunan fisiknya perlu dibedakan untuk mengakomodasi kebutuhan mereka.
Harus terbangun kesadaran kritis untuk
mengelola lingkungan hidup oleh semua pihak dan pemerataan pelayanan umum bagi
semua pihak, sekaligus mulai belajar untuk membangun kesadaran kolektif dalam
merawat lingkungan dan perencanaan pembangunan tidak sekedar merespon
sewaktu-waktu secara ceremonial. Diharapkan masyarakat, pemerintah
dan/atau dunia usaha mampu memperhatikan pilihan-pilihan kebijakan dalam rangka
mengatasi kerentanan pada alam dan lingkungan sosial untuk mendukung
penghidupan berkelanjutan.
Balik
Layar:
Tulisan
ini harus menunggu waktu hampir satu minggu dalam waktu jedanya antara waktu
pengiriman dan pemuatan. Proses penulisannya memang mengambil momen adanya event regional soal toilet publik, dan
mampu penulis mengambil angle persoalan
gender.
0 komentar:
Posting Komentar