Menjaga Indonesia Dari Narkoba* (Dimuat dalam Mimbar Mahasiswa Solopos 29 Mei 2012)

on Kamis, 06 September 2012

gambar diambil dari kalimantanpost.com
Pada 8 Oktober 2004 , Bandara Ngurah Rai, Denpasar, petugas bea dan cukai menangkap seorang wanita kulit putih karena kedapatan membawa barang terlarang.  Di dalam tas wanita tersebut ditemukan ganja seberat 4,2 kg. Wanita tersebut bernama Schapelle Leigh Corby. Proses hukum pun berjalan berjalan. Corby diputuskan bersalah atas tuduhan kepemilikan 4,2 kg ganja dan divonis 20 tahun  serta denda Rp100 juta subsider enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Denpasar pada 27 Mei 2005 silam. Begitu lah awal cerita perjalanan kelam Corby di Indonesia yang selanjutnya dia dijuluki Ratu Mariyuana.
Namun, di tahun 2012 ini Corby mendapatkan grasi 5 tahun. Pro dan kontra pun mulai bermunculan. Pemberian grasi terhadap Coby pun seolah-olah anti klimaks dari niat pemerintah untuk menyatakan perang terhadap narkotika.
Mengajukan grasi adalah hak setiap terpidana. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Di pasal 2 ayat 2, menyebutkan Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Permohonan grasi oleh Corby kepada  presiden adalah hak corby, tiada yang salah dengan hal itu. Yang menjadi permasalahan, mengapa pemerintah memberikan grasi! Bukan kah pemerintah berkomitmen melakukan perang terhadap narkotika?
Berdasarkan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa : peringanan atau perubahan jenis pidana; pengurangan jumlah pidana; atau penghapusan pelaksanaan pidana.
Ketidakkonsistenan dalam berhukum
            United Nations Conventions Againts Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Subtances 1988 adalah Konvensi PBB tentang Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika yang dikeluarkan tahun 1988. Oleh pemerintah Indonesia, konvensi tersebut diratifikasi menjadi  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 tentang pengesahan United Nations Conventions Againts Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Subtances 1988 (Konvensi Perserikatan Bangasa-Bangsa tentang Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988.
Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran, sebagai berikut:
·         Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika.
·         Pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula.
·         Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Protokol 1972 Tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan psikotropika.
·         Perlunya memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika.
Sikap negara indonesia yang meratifikasi konvensi menunjukan keseriusan Indonesia dalam menangani segala kejahatan dan penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika. Dan bahkan, karena peredaran narkotika semakin memprihatinkan, payung hukum baru pun dibuat melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
Rawan narkoba
Ahli hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita, dalam suatu wawancara mengatakan "Seluruh negara di dunia sepakat bahwa kejahatan narkotika dan psikotropika merupakan kejahatan berat dan bersifat internasional sehingga pelakunya tidak perlu diberi grasi,"Pemberian grasi kepada Corby justru menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menangani kasus narkoba.
Secara faktual, lokasi Indonesia sangat strategis dalam peredaran narkoba internasional, sehingga risiko narkoba yang bakal masuk ke Indonesia pun semakin besar. Untuk kasus ganja, Mengutip data dari Badan Narkotika Nasional, Sumber : Direktorat Tindak Pidana Narkoba, per Maret 2012 telah disita ganja dengan total 23.891.244,25 gr, pohon ganja (stalks) 1.839.664, luas area penanaman ganja 305,83 Ha, dan bibit ganja 4,38 gr. Hasil Pengungkapan Polri Per 2011 terdapat 5.909 kasus berkaitan dengan ganja.
Jumlah yang sangat fantastis bukan? Apakah kita rela generasi bangsa diracuni oleh narkoba? Data diatas hanya mengenai ganja, belum narkoba jenis lain! Pemberian hukuman seberat-beratnya layak untuk diberikan pada pelaku narkoba, termasuk Corby!
Alasan pemberian grasi kepada Corby patut di pertanyakan. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, alasan untuk menyelamatkan anak buah kapal di dalam tahanan Australia Utara karena terlibat sebagai anak buah kapal dalam kasus trafficking rasa-rasanya tidak sebanding jika di bandingkan dengan kasus Corby. Indikasi bahwa pemerintah Indonesia mendapat tekanan dalam kasus Corby pun mulai mengemuka. Wajar jika ada spekulasi bahwa grasi Corby adalah negosiasi pemerintah indonesia denga Australia.
Grasi kepada Corby telah di berikan oleh presiden (hak presiden). Kita, sebagai elemen bangsa harus menghargai keputusan tersebut. Bahwa terjadi gejolak pro dan kontra adalah suatu hal yang wajar. Bagi yang kontra, di sediakan mekanisme di Peradilan Tata Usaha Negara untuk menggugat keputusan pemberian grasi kepada Corby.
Penulis teringat dengan pendapat alm Prof.Tjip. Hukum yang digunakan oleh sejumlah bangsa-bangsa di dunia dapat sama, tetapi bagaimana bangsa-bangsa itu dalam menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari berbeda-beda (Satjipto Rahardjo,2009:41) Bahwa konvensi PBB tentang Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 telah dibuat. Namun tidak semua negara sejalan dalam melaksanakannya, termasuk Indonesia. Sekalipun pemberian grasi terhadap Corby harus diberikan, sebaiknya pemerintah memberikan suatu argumen yang tegas dan jelas.  Agar kita bisa berbangga untuk Indonesia ditengah minimya rasa bangga terhadap bangsa ini!

0 komentar: