Menakar Generasi Literer* (Dimuat dalam Gagasan Solopos 24 Juli 2012)

on Kamis, 06 September 2012
gambar diambil dari dekadeku.wordpress.com
         Menanggapi kolom Gagasan Solopos (23/7) yang menuliskan tentang sastra anak di Indonesia, dimana dituliskan bahwa kondisi yang ada yaitu budaya pop lengket pada kehidupan anak-anak kita sekarang. Meminjam kegelisan Bandung Mawardi dalam Solopos (23/7) ironi nasib literasi anak bukti ketidaksanggupan negara mengurusi ketersediaan bahan bacaan dan buku pelajaran untuk anak-anak Indonesia. Sesungguhnya dosa ini tidak semata milik negara, hingga akhirnya dunia sastra kita seakan surut di tengah membanjirnya era serba instan dan virtual.

Kita akui bahwa sastra merupakan bekal masa depan generasi penerus kita, dimana sastra sering kali adalah potret budaya dan peradaban bangsa. Dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Sastra karya Noor Rohinan M. (2011) dikutip wasiat Umar Bin Khattab kepada rakyatnya yaitu, “Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani”. Minimnya sastra yang hadir di ruang keluarga kita dapat menjadi pemicu degradasi moral agen pelopor kita.
Dewasa ini karakter agent of change bangsa tak urung menunjukkan kondisi yang progresif, kriris moral dan akhlak tengah menjalar pada seluruh lapisan masyarakat baik tua, muda maupun anak-anak. Degradasi moral para warga negara kesatuan ini membuat negeri seakan sedang babak belur dihantam berbagai masalah. Pertanyaan restoris muncul mencari penyebab degradasi moral generasi masa depan bangsa. Terlalu kusut untuk sekarang mengurai permasalahan moral generasi kita, karena sangat kompleks dan tidak ada penyebab mutlak yang dapat kita tunjukkan pada publik.
Kemudahan dan ketersediaan sumber informasi publik dalam tampilan gadget nyatanya tidak selalu membawa angin segar bagi kehidupan bermasyarakat. Kehadiran televisi di tiap ruang keluarga tersebut mampu mengubah minat baca buku pada anak-anak dewasa ini. Minat baca anak telah tergerus oleh budaya audio-visual yang menghadirkan tontonan yang serba menghibur. Padahal buku adalah jendela dunia, sastra mampu menjadi sarana dalam mengubah kondisi sosial masyarakatnya.
Mengutip gambaran loncatan masa pra literer langsung pada masa pasca literasi seperti yang dituliskan oleh Rohinah M Noor (2011) dimana kepedulian orang tua untuk mengajarkan sastra kepada anaknya melalui tradisi mendongeng yang turun temurun dimiliki negeri ini, kini sudah mulai terkikis. Selain itu, dapat dikatakan generasi sekarang juga tidak mengenal tahap literasi. Hasil penelitian Saleh dkk pada tahun 1995 dan 1996 melaporkan bahwa sebagian besar orang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk nonton televisi dibandingkan dengan membaca. Terkikisnya literasi juga terbukti dari hasil penekitian Taufiq Ismail yang dilakukan dari tahun 1997 hingga 2005 yang menunjukkan kurikulum sastra tidak diperkenalkan saat bangku SMA. Hasil survei dari The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura pada tahun 2001 mengenai minat baca penduduknya menempatkan Indonesia pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Orang dewasa Indonesia dengan minat baca dari jumlah penduduk Indonesia keseluruhan, hanya 4.421.739 orang yang mengunjungi perpustakaan dari 33 perpustakaan negeri di Indonesia yang tercatat pada tahun 2008. Bagaimana mungkin anak-anak kita terjun mengenal literasi jika lingkungan mereka tinggal tidak begitu gemar baca tulis. Hal tersebut mempengaruhi pendidikan karakter anak negeri ini.
Minimnya generasi literer di negeri ini, dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang hadir dari keluarga sebagai lingkungan primer anak maupun dari negara selaku pemangku kebijakan pendidikan. Pertama, faktor sejarah diakui mempengaruhi keadaan ini, dimana sejak zaman kerajaan dan kemudian disambung dengan masa penjajahan kegiatan baca tulis banyak digeluti oleh kaum bangsawan kita dan kaum borjuis jaman tersebut. Para kawula alit berpeluang sangat kecil untuk memasuki dunia keaksaraan. Tatanan feodal ini demikian mapan sehingga untuk waktu yang lama masyarakat wong cilik merasa tidak sepantasnya memasuki dunia baca tulis. Kemudian tradisi tutur sudah membelenggu masyarakat kita. Tradisi itu juga menjadi salah satu sebab mengapa kita belum juga gemar membaca dan menulis. Dalam tradisi ini peran tulisan dianggap kurang penting.
Kedua, layanan pendidikan yang tidak merata di Indonesia mampu menjadi persoalan minimnya generasi literer bangsa. Ketika sebagaian masyarakat Indonesia masih mengalami buta huruf, maka minat baca tulis tidak mungkin muncul dalam kehidupan bermasyarakat tersebut. Program gemar membaca terutama bagi anak-anak sebagai sebuah budaya,  melaui keluarga, sekolah, pemerintah, media, sulit untuk terwujud jika masih ada penduduk kita yang belum melek literasi atau bahkan belum melek huruf.
            Ketiga, kondisi Indonesia sedang terjadi lompatan budaya dari budaya pra literer ke masa pasca literer tanpa melalui masa literer, artinya melompat menjadi masyarakat yang senang menonton televisi tanpa melalui budaya gemar membaca. Keempat, yaitu masalah prioritas belanja buku yang masih kalah dibandingkan dengan prioritas belanja pokok yang terus melambung naik dan belanja lain-lain sebagai tuntutan lifestyle kehidupan. Saat ini harga buku melambung tinggi, sangat mahal. Hal itu juga menyebabkan masyarakat enggan membaca. Tak lain sebab yang turut ikut dibelakangnya adalah masalah perekonomian masyarakat Indonesia yang ikut dibelakangnya.  
            Peran serta orang tua dalam berproses bersama anak-anaknya dalam mengenal sastra  diharapkan mampu membekali masa depan geberasi penerus kita. Tentu saja bukan bekal untuk mendapatkan kesuksesan materi, melainkan keberhasilan di dalam memperkokoh kepribadiannya. Hingga dipahami, sastra layaknya kawah candradimuka yang bakal menggodok kepribadian manusia sebagai agen perubahan yang syarat pada kebenaran dan kemanusian.


Penulis : Tyas Nur Haryani

Balik Layar:
Tulisan ini tidak butuh waktu jeda lama antara waktu pengiriman dan pemuatan. Akan tetapi, tidak semudah itu menembus meja redaksi, tulisan ini sudah di tulis jauh-jauh hari sebelum muncul momen yang satu ini dan sudah dicoba untuk dikirimkan ke beberapa media dan ditolak. Peluang yang dimiliki dari tulisan ini, salah satunya adalah mengambil momen menanggapi tulisan yang muncul pada kolom Gagasan Harian Umum Solopos sebelumnya.

0 komentar: