gambar diambil dari dekadeku.wordpress.com |
Kita akui bahwa
sastra merupakan bekal masa depan generasi penerus kita, dimana sastra sering
kali adalah potret budaya dan peradaban bangsa. Dalam buku Pendidikan Karakter
Berbasis Sastra karya Noor Rohinan M. (2011) dikutip wasiat Umar Bin Khattab
kepada rakyatnya yaitu, “Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat
anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani”. Minimnya sastra yang hadir di
ruang keluarga kita dapat menjadi pemicu degradasi moral agen pelopor kita.
Dewasa ini
karakter agent of change bangsa tak
urung menunjukkan kondisi yang progresif, kriris moral dan akhlak tengah
menjalar pada seluruh lapisan masyarakat baik tua, muda maupun anak-anak.
Degradasi moral para warga negara kesatuan ini membuat negeri seakan sedang
babak belur dihantam berbagai masalah. Pertanyaan restoris muncul mencari
penyebab degradasi moral generasi masa depan bangsa. Terlalu kusut untuk sekarang
mengurai permasalahan moral generasi kita, karena sangat kompleks dan tidak ada
penyebab mutlak yang dapat kita tunjukkan pada publik.
Kemudahan dan
ketersediaan sumber informasi publik dalam tampilan gadget nyatanya tidak selalu membawa angin segar bagi kehidupan
bermasyarakat. Kehadiran televisi di tiap ruang keluarga tersebut mampu
mengubah minat baca buku pada anak-anak dewasa ini. Minat baca anak telah
tergerus oleh budaya audio-visual yang menghadirkan tontonan
yang serba menghibur. Padahal buku adalah jendela dunia, sastra mampu menjadi sarana
dalam mengubah kondisi sosial masyarakatnya.
Mengutip gambaran
loncatan masa pra literer langsung pada masa pasca literasi seperti yang
dituliskan oleh Rohinah M Noor (2011) dimana kepedulian orang tua untuk
mengajarkan sastra kepada anaknya melalui tradisi mendongeng yang turun temurun
dimiliki negeri ini, kini sudah mulai terkikis. Selain itu, dapat dikatakan generasi
sekarang juga tidak mengenal tahap literasi. Hasil penelitian
Saleh dkk pada tahun 1995 dan 1996 melaporkan bahwa sebagian besar orang lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk nonton televisi dibandingkan dengan membaca. Terkikisnya literasi juga terbukti dari hasil
penekitian Taufiq Ismail yang dilakukan dari tahun 1997 hingga 2005 yang
menunjukkan kurikulum sastra tidak diperkenalkan saat bangku SMA. Hasil survei
dari The Political and Economic Risk Country
(PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura pada tahun 2001 mengenai
minat baca penduduknya menempatkan Indonesia pada urutan ke-12 dari 12 negara
di Asia. Orang dewasa Indonesia dengan minat baca dari jumlah penduduk
Indonesia keseluruhan, hanya 4.421.739 orang yang mengunjungi perpustakaan dari 33 perpustakaan negeri di
Indonesia yang tercatat pada tahun 2008. Bagaimana mungkin anak-anak kita
terjun mengenal literasi jika lingkungan mereka tinggal tidak begitu gemar baca
tulis. Hal tersebut mempengaruhi pendidikan karakter anak negeri ini.
Minimnya
generasi literer di negeri ini, dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang
hadir dari keluarga sebagai lingkungan primer anak maupun dari negara selaku
pemangku kebijakan pendidikan. Pertama,
faktor sejarah diakui mempengaruhi keadaan ini, dimana sejak zaman kerajaan dan
kemudian disambung dengan masa penjajahan kegiatan baca tulis banyak digeluti
oleh kaum bangsawan kita dan kaum borjuis jaman tersebut. Para kawula alit berpeluang sangat kecil
untuk memasuki dunia keaksaraan. Tatanan feodal ini demikian mapan sehingga
untuk waktu yang lama masyarakat wong cilik merasa tidak sepantasnya memasuki
dunia baca tulis. Kemudian tradisi tutur sudah membelenggu masyarakat kita.
Tradisi itu juga menjadi salah satu sebab mengapa kita belum juga gemar membaca
dan menulis. Dalam tradisi ini peran tulisan dianggap kurang penting.
Kedua, layanan
pendidikan yang tidak merata di Indonesia mampu menjadi persoalan minimnya
generasi literer bangsa. Ketika sebagaian masyarakat Indonesia masih mengalami
buta huruf, maka minat baca tulis tidak mungkin muncul dalam kehidupan
bermasyarakat tersebut. Program gemar membaca terutama bagi anak-anak sebagai sebuah
budaya, melaui keluarga, sekolah, pemerintah, media, sulit untuk terwujud
jika masih ada penduduk kita yang belum melek literasi atau bahkan belum melek
huruf.
Ketiga,
kondisi Indonesia sedang terjadi
lompatan budaya dari budaya pra literer ke masa pasca
literer tanpa melalui masa literer, artinya melompat menjadi masyarakat yang
senang menonton
televisi tanpa melalui
budaya gemar membaca. Keempat, yaitu masalah prioritas belanja buku yang
masih kalah dibandingkan dengan prioritas belanja pokok yang terus melambung
naik dan belanja lain-lain sebagai tuntutan lifestyle
kehidupan. Saat ini harga buku melambung tinggi, sangat mahal. Hal itu juga
menyebabkan masyarakat enggan membaca. Tak
lain sebab yang turut ikut dibelakangnya adalah masalah perekonomian masyarakat
Indonesia yang ikut dibelakangnya.
Peran serta orang tua dalam
berproses bersama anak-anaknya dalam mengenal sastra diharapkan mampu membekali masa depan geberasi
penerus kita. Tentu saja bukan bekal untuk mendapatkan kesuksesan materi,
melainkan keberhasilan di dalam memperkokoh kepribadiannya. Hingga dipahami,
sastra layaknya kawah candradimuka yang bakal menggodok kepribadian manusia
sebagai agen perubahan yang syarat pada kebenaran dan kemanusian.
Penulis : Tyas Nur Haryani
Balik Layar:
Tulisan
ini tidak butuh waktu jeda lama antara waktu pengiriman dan pemuatan. Akan
tetapi, tidak semudah itu menembus meja redaksi, tulisan ini sudah di tulis
jauh-jauh hari sebelum muncul momen yang satu ini dan sudah dicoba untuk
dikirimkan ke beberapa media dan ditolak. Peluang yang dimiliki dari tulisan
ini, salah satunya adalah mengambil momen menanggapi tulisan yang muncul pada
kolom Gagasan Harian Umum Solopos sebelumnya.
0 komentar:
Posting Komentar