Menumbuhkan Etika Berkendara* (Dimuat dalam Mimbar Mahasiswa Solopos 14 Februari 2012)

on Kamis, 06 September 2012
gambar diambil dari boerhunt.wordpress.com
Kecelakaan di jalan raya kembali terjadi.  Setelah kecelakaan dahsyat di Tugu Tani Jakarta Pusat yang memakan 9 korban jiwa, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan kecelakaan lain yang tak kalah tragisnya. Jumat, 10 Februari 2012, di Jalan Raya Puncak, Cisarua, Bogor, Jawa Barat bus Karunia Bhakti mengalami kecelakaan beruntun yang menyebabkan nyawa 14 orang dan melukai 47 orang. Banyaknya kecelakaan yang terjadi harus memantik pemerintah dan stakeholder terkait agar melakukan evaluasi dan perbaikan.

Kompleksitas penyebab kecelakaan sangat tinggi. Sebagian diantaranya, jumlah kendaraan yang beredar dipasaran semakin meningkat. Akses masyarakat untuk mendapatkan kendaraan semakin dipermudah. Kredit kendaraan bermotor yang lunak semakin menambah parah kondisi lalu lintas di Indonesia. Apalagi sifat masyarakat Indonesia yang konsumtif semakin memperburuk situasi. Ibarat api disiram bensin semain menjadi. Sarana dan prasarana lalu lintas masih banyak mengalami kekurangan. Jalan yang kurang baik dan rambu yang kurang, banyak dengan mudah kita jumpai. Contoh diatas hanya sebagian kecil faktor penyebab kecelakaan.
Kecelakaan di jalan raya sepertinya sudah menjadi fenomena jamak terjadi di masyarakat. Korban pun akhirnya berjatuhan, tidak hanya harta-benda, nyawa pun turut menjadi korban. Padahal, peraturan mengenai lalu lintas selalu diperbarui dan berjumlah banyak. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah peraturan tebaru mengatur lalu lintas, belum lagi peraturan turunannya. Sepertinya sudah terlalu banyak peraturan yang mengatur, akan tetapi tidak serta merta menurunkan angka kecelakaan di jalan raya
Pensyaratan bagi pengemudi kendaraan bermotor untuk  memiliki Surat Ijin Mengemudi dari kepolisian juga belum terbukti efektif menurunkan angka kecelakaan. Fakta dilapangan, kecelakaan terjadi bukan hanya karena cakap atau ketidakcakapan pengemudi dalam berkendara. Melainkan banyak faktor yang berpengaruh dalam kecelakaan, diantaranya pengemudi, kendaraan ,rambu, cuaca dsb.
Perlu diketahui, SIM hanya menekankah teori-teori dasar berkendara. Bagaimana cara mengemudikan kedaraan yang aman. Padahal, dalam berkendara di jalan raya, pengemudi tidak hanya dituntut membutuhkan skill mengemudi. Lebih penting lagi, pengemudi harus mempunyai etika berkendara. Kemahiran pengemudi dalam menjalankan etika berkendara inilah yang paling berperan dalam meminimalisir kecelakaan di jalan raya.
Etika berkendara
Etika berkendara berisi bagaimana cara pengemudi bersikap dijalan raya. Sehingga dalam berkendara, pengemudi dapat menjaga keselamatannya sendiri dan pengemudi lainnya. Sehingga pengemudi dapat mengemudi dengan baik, benar, aman dan nyaman. Kesadaran terhadap keselamatan dan kenyamanan bersama inilah tujuan dari etika berkendara. Namun etika berkendara sangat susah diterapkan sewaktu dijalan raya. Kemampuan untuk berbagi jalanan dijalan raya sepertinya masih sulit terjadi. Rasa egois dan tidak mau mengalah justru sering muncul dijalan raya.
Etika berkendara mempunyai nilai lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang mengatur lalu lintas. Walaupun pada dasarnya sebagian etika berkendara tertuang dalam peraturan perundang-undangan itu. Permasalahannya, apakah masyarakat mau menjalankan peraturan tersebut? Itu yang menjadi pertanyaan besarnya.
Situasi sosial masyarakat sangat erat hubungannya dengan etika berkendara. Pelanggaran terhadap peraturan dapat dengan mudah dijumpai. Kita dapat dengan mudah menemukan pengemudi berhenti melewati marka jalan sewaktu lampu merah, menerobos lampu merah, memakai jalur pejalan kak, dsb. Kemampuan masyarakat untuk mentaati peraturan dinilai masih lemah. Secara otomatis kesadaran terhadap etika berkendara juga masih lemah.
Kesadaran masyarakat untuk menjalankan etika berkendara yang kurang dan diperparah dengan kondisi manajemen transportasi yang buruk merupakan cermin buruknya transportasi di Indonesia. Kemacetan lalu lintas semakin memperparah kondisi fisik dan psikis pengendara. Berdasarkan penelitian kepolisian, pengemudi hanya dapat tetap fokus berkendara selama delapan jam per hari, dengan catatan harus istirahat per 4 jam. Faktanya, dikota-kota besar yang mengalami kemacetan parah, sangat dimungkinkan pengemudi mengendarai kendaraannya lebih dari delapan jam. Keadaan ini lah yang semakin memperbesar risiko kecelakaan.


Doktrin
Etika berkendara pertama kali harus ditumbuhkan di keluarga. Lingkungan keluarga memungkinkan terjadi transfer of value/ transfer nilai. Melalui keluarga dapat dengan mudah menanamkan etika berkendara. Dengan kata lain, doktrin etika berkendara mudah diserap dan tertanam kuat. Hal tersebut dikarenakan, media bahasa dalam keluarga lebih ringan dan mudah dipahami. Sehingga doktrin etika berkendara dapat diterima dengan bagus.
Tahap selanjutnya, doktrin etika berkendara harus dikembangkan  melalui stakeholder terkait. Lembaga pendidikan adalah media yang paling mumpuni untuk menebarkan doktrin secara efektif. Dengan memberikan pelajaran mengenai bidang lalu lintas, para generasi muda diharapkan menguasai etika berkendara dengan baik. Sehingga mereka dapat menerapkan etika berkendara. Sekaligus sebagai agen penebar doktri etika berkendara dalam pergaulannya di masyarakat. Dengan konsep doktrin berkendara yang berantai diharapkan dapat menekan angka kecelakaan lalu lintas.
            Kecelakaan lalu lintas adalah permasalahan bersama. Semua pihak harus ikut berperan serta dalam menanggulangi kecelakaan jalan raya. Kita semua harus sepakat bahwa kecelakaan lalu lintas adalah tanggung jawab kita bersama. Masyarakat, stakeholder terkait dan pemerintah harus saling bekerja sama memecahkan dan mengurai permasalahan kecelakaan dijalan raya.
Etika berkendara yang baik harus selalu ditanamkan pada semua pengendara. Sarana dan prasarana lalu lintas harus terus diperbaiki lagi. Karena hanya dengan upaya itulah kecelakaan dapat diminimalisasi. Terlepas dari kecelakaan adalah takdir dari Tuhan, sebagai manusia kita bisa berusaha meminimalisasikannya. Untuk Kota Solo, Slogan yang sering didengar sewaktu berhenti dilampu merah harus senantiasa dijalankan. “Tertib berkendara adalah cerminan budaya wong Solo”. Slogan yang padat, singkat dan jelas akan tetapi bernilai mendalam. Semoga kecelakaan bus Karunia Bhakti dapat dijadikan pelajaran berharga dan kita dapat mengambil hikmahnya.


* Penulis Agung Pambudi

0 komentar: